Kompas

dalam ,
Kompas

Pada 30 Juni 2025, saya berkesempatan diundang untuk mengikuti acara ulang tahun ke-60 Harian Kompas bertajuk Gala Literasi Nusantara di Menara Kompas. Kedatangan saya dimaksudkan untuk mewakili pembaca setia Kompas dan kontributor Wikipedia bahasa Indonesia.

Acara dimulai dengan jamuan makan malam bersama dengan tamu undangan lainnya. Saya berkesempatan bertemu dan berjejaring dengan beberapa penulis opini Kompas, akademisi, hingga para pemangku kepentingan. Tidak disangka, saya juga dipertemukan kembali dengan kawan lama.

Saking semangatnya berjejaring dengan rekan baru, saya hanya makan sedikit dan jarang untuk mengambil gambar. Saya juga berkesempatan menampilkan alur kerja Wikipedia dalam sesi tersebut, serta mereka sangat antusias untuk mengajukan pertanyaan seputar Wikipedia dan tindak tanduk yang dihadapi.

Seusai sesi jamuan makan, pukul 18.30 WIB kami semua diarahkan menuju Studio 1 Kompas TV yang kebetulan berada di satu gedung. Acara Gala Literasi Nusantara disiarkan secara langsung di Kompas TV pada pukul 19.30 WIB.

Saya duduk bersebelahan dengan rekan yang baru ditemui ketika sesi jamuan makan. Sepanjang acara berlangsung, ia memberikan banyak pandangan menarik terkait Harian Kompas, tingkat literasi, hingga denialisme. Terkait denialisme, ini menyangkut sosok yang turut hadir di acara tersebut, yakni Fadli Zon.

Kami memiliki kesamaan rasa kesal karena ybs. dikenal menyangkal terjadinya pemerkosaan massal pada Kerusuhan Mei 1998. Ketika saya menunjukkan pos di X ini kepadanya, ia takjub akan tanggapan dan reaksi dari warganet.

“Semoga saja beliau membaca pos ini”, ujar saya.

“Ia pasti baca, kok. Cuma dianggap angin lalu saja!”, pungkasnya.

Terlepas dari rasa kekesalan kami, seluruh rangkaian acaranya sangat menarik maupun membukakan mata kami terkait dua pendiri Harian Kompas yaitu P.K. Ojong dan Jakob Oetama. Keduanya sudah berpulang, tetapi warisan mereka tetap dijaga dan bertahan hingga kini.


Kompas, harian yang terbit pada 28 Juni 1965 itu, didirikan oleh (alm.) P.K. Ojong dan (alm.) Jakob Oetama. Harian tersebut lahir dari majalah Intisari dan pada saat itu hampir semua peralatan operasionalnya adalah pinjaman. Kondisi gedung kantornya pada saat itu sangat jauh apabila dibandingkan dengan sekarang.

Bagi yang belum tahu, nama “Kompas” merupakan usulan dari Ir. Soekarno dengan harapan sebagai penunjuk arah bagi bangsa Indonesia. Sampai kini ada rasa tidak percaya bahwa kedua pendiri Kompas memiliki sikap dan prinsip berbeda, tetapi ternyata itulah yang menjadikan harian ini bisa bertahan dari guncangan zaman.

Terkhusus bagi Jakob Oetama, beliau senantiasa berkata bahwa dirinya adalah “wartawan”, terlepas peran besarnya dalam mendirikan Kompas. Ia memegang teguh prinsip dari moto Kompas yaitu “Amanat Hati Nurani Rakyat” yang tetap berlaku hingga kini.

Saya mengenal Kompas sejak kelas 2 SMP, ketika saya menghabiskan waktu istirahat sekolah di perpustakaan. Di antara beragam buku yang saya baca, koran Kompas menjadi asupan informasi wajib. Lazimnya anak sekolah tidak senang membaca koran, tetapi saya tidak seperti kebanyakan anak sekolah itu.

Selain membaca artikelnya, saya senantiasa menunggu kehadiran rubrik komik pendek Benny and Mice (sekarang sudah tidak terbit) setiap hari Minggu. Pada awal pekan, saya selalu mengambil dua koran Kompas hari Minggu dan Senin agar tidak ketinggalan komik jenaka nan dekat dengan kehidupan itu.

Bahkan ketika saya mulai “ketagihan” berkontribusi di Wikipedia pada masa SMA, kebiasaan membaca Kompas tidak ditinggalkan begitu saja. Tidak seperti sebelumnya, intensitas saya membaca koran menjadi 2-3 kali dalam seminggu. Namun, rubrik komiknya tetap menjadi sesuatu yang saya nantikan setiap pekan.

Awalnya kami sekeluarga berlangganan Kompas cetak, tetapi sekarang kami beralih ke platform digitalnya yaitu Kompas.id. Selain faktor perkembangan zaman, kami tidak ingin menumpuk koran bekas di rumah kami. Toh, kami tetap bisa menikmati versi koran Kompas melalui layar sentuh gawai kami masing-masing.

Berbicara soal Kompas cetak, saya masih ingat dahulu terbit dengan 32 halaman. Namun, kini hanya terbit dengan 16 halaman. Ongkos cetak yang makin mahal dan turunnya minat pembaca cetak yang menjadi pertimbangan dalam pengurangan jumlah halamannya.

Terlepas dari itu, esensi Kompas cetak tetap hidup di versi digitalnya. Berbeda dengan media daring (online) pada umumnya yang mengutamakan kecepatan, Kompas.id lebih mengutamakan keakuratan dan kedalaman beritanya. Tampaknya secara prinsip, Kompas enggan untuk ikut-ikutan terseret arus zaman.

Oh, iya. Hampir saja lupa. Harian Kompas (Kompas.id) dengan Kompas.com adalah dua entitas yang berbeda. Meskipun berada di atap yang sama, Kompas.com lebih mengutamakan kecepatan beritanya. Secara pribadi, inilah alasan saya berlangganan Kompas.id agar menghindari “agresivitas” dari Kompas.com.


Seusai acara Gala Literasi Nusantara, saya mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan baru maupun beberapa pihak dari Harian Kompas. Apresiasi saya kepada Harian Kompas semakin bertambah dan konsistensinya dalam mengutamakan keakuratan informasinya.

Saya menyadari bahwa kebanyakan orang enggan untuk berlangganan berita karena faktor biaya, tetapi media perlu uang agar bisa senantiasa hidup. Sangat mungkin bagi media untuk hidup dari iklan (AdSense) saja, tetapi arah dari media tersebut akan berfokus pada keuntungan maksimal.

Tidak ada yang salah dengan mengejar keuntungan, tetapi kalau semata-mata fokusnya hanya itu maka keakuratan dan nama baiknya bisa dipertaruhkan.

Ini mengingatkan saya kepada Wikipedia yang konsisten menolak untuk memasukkan iklan tersemat (popup ads) meskipun kemungkinan profitnya tinggi. Hal ini dilakukan karena Wikipedia adalah proyek nonprofit dan pemasangan iklan berisiko merusak kenetralannya dalam jangka panjang.

Selamat ulang tahun yang ke-60 untuk Harian Kompas. Semoga senantiasa mengutamakan keakuratan dan mengemban moto/tajuk yang dimiliki sejak awal berdiri, yaitu menjadi amanat hati nurani rakyat Indonesia.


Discover more from Nohirara Swadayana

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Tinggalkan komentar Anda

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

To respond on your own website, enter the URL of your response which should contain a link to this post's permalink URL. Your response will then appear (possibly after moderation) on this page. Want to update or remove your response? Update or delete your post and re-enter your post's URL again. (Find out more about Webmentions.)