Menanggalkan

dalam
Menanggalkan

Sebagai individu yang menggunakan media sosial sejak masa SMA, saya merasa media sosial pada masa kini sudah kehilangan esensinya sebagai wadah untuk bersosialisasi. Konten berbayar, fenomena pemengaruh (influencer), hingga penghambaan viralitas sudah membuat saya jengah terhadapnya.

Saya tidak anti terhadap mereka yang mencari keuntungan di media sosial, karena itu adalah hak mereka yang harus dihormati. Namun, saya juga berhak untuk memalingkan wajah dari konten-konten tersebut. Mereka boleh untuk membuat, tetapi saya juga boleh untuk tidak melihat.

Saya memilih konten dari siapa saja yang sesuai menurut selera, tanpa memandang individu tersebut mencari keuntungan atau tidak sama sekali.

Ketika sedang bersantai, saya menemukan sebuah video yang menarik perhatian:

Setelah menonton video ini, ternyata bukan hanya saya yang melakukan hal ini. Pada bagian komentarnya, banyak orang yang mengungkapkan kekecewaan terhadap media sosial saat ini, serta bahkan ada yang memutuskan untuk berhenti menggunakan media sosial.


Pada suatu kesempatan, saya menyatakan keinginan untuk berhenti menggunakan media sosial secara aktif kepada handai tolan. Ia terkejut akan ucapan saya itu.

“Loh, bagaimana caranya kamu tetap update dengan informasi baru? Lalu, orang lain kalau mau menghubungi kamu bagaimana caranya?”

Pertama, saya bisa mengetahui informasi terkini dengan membaca berita, salah satunya di Kompas. Saya tidak membutuhkan kecepatan dari suatu informasi, melainkan saya menginginkan keakuratannya. Buat apa terburu-buru ingin jadi yang tercepat, apabila pada akhirnya informasi itu ternyata tidak akurat?

Kedua, apabila mereka sangat ingin menghubungi saya, maka tinggal lihat halaman kontak di situs web ini. Saya tak ingin bersusah payah seperti dahulu di media sosial agar orang lain menanggapi maupun menghubungi saya. Jika memang butuh, pastinya mereka akan berinisiatif untuk mencari dan proaktif.

Terakhir, blog ini adalah rumah utama untuk menyampaikan hal terbaru maupun apa saja yang ada di dalam benak saya. Akun media sosial saya hanya sebagai tempat untuk menggaungkan pos ini ke lebih banyak orang.

“Katanya mau berhenti dari media sosial, tetapi kenapa masih ngepos isi blog ke sana?”

Ah, ini hanya sebagai indikator bahwa saya masih “ada” dan menjalani kehidupan seperti biasa. Hitung-hitung bisa menambah jumlah kunjungan ke blog ini. Toh, aplikasi media sosial di ponsel saya sudah dihapus dan satu-satunya cara mengaksesnya hanya melalui komputer saya.

Biar saya tidak impulsif membuka media sosial, singkatnya.


Oh, iya. Coba Anda perhatikan akun X/Twitter milik saya, di sana sudah tidak ada centang biru lagi karena saya memutuskan untuk tidak melanjutkan pembayarannya. Buat apa saya terus membayar apabila jarang digunakan. Lebih baik saya gunakan uangnya untuk membayar hal lain yang kini diperlukan.

Saya sudah berhenti menggunakan media sosial secara intensif sejak kunjungan terakhir di Menara Kompas kala itu. Dampaknya, saya merasa jauh lebih bahagia dan fokus dalam bekerja. Saya tidak perlu lagi mencari validasi di media sosial, karena dengan melakukan apa yang bisa dilakukan maka itu sudah cukup.

Melalui tulisan ini, saya tidak meminta Anda untuk berhenti menggunakan media sosial. Semua itu adalah hak dan kebijaksanaan masing-masing individu. Namun, apabila Anda sudah merasa lelah dan jengah karenanya, sebaiknya coba untuk mengurangi bermedia sosial secara bertahap.

Hidup Anda tidak sebatas ada di media sosial, melainkan lebih besar dari itu. Secara pribadi saya percaya ada potensi di dalam diri Anda yang mungkin belum sempat dicari, tetapi terhalang pengaruh media sosial. Selagi masih sempat, gunakan untuk eksplorasi kegiatan lain yang bermanfaat.

The mental health crisis among young people is an emergency — and social media has emerged as an important contributor. Adolescents who spend more than three hours a day on social media face double the risk of anxiety and depression symptoms, and the average daily use in this age group, as of the summer of 2023, was 4.8 hours. Additionally, nearly half of adolescents say social media makes them feel worse about their bodies.

Vivek Murthy, “Surgeon General: Why I’m Calling for a Warning Label on Social Media Platforms” New York Times, (June 17, 2024)

Discover more from Nohirara Swadayana

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Tinggalkan komentar Anda

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

To respond on your own website, enter the URL of your response which should contain a link to this post's permalink URL. Your response will then appear (possibly after moderation) on this page. Want to update or remove your response? Update or delete your post and re-enter your post's URL again. (Find out more about Webmentions.)