Kaidah

dalam
Kaidah
Ilustrasi dari kamus yang terbuka. Gambar oleh: LA2, lisensi: CC BY-SA 3.0.

Apabila saya diminta untuk mengetik suatu tulisan, tanpa berpikir panjang saya akan menulis menggunakan ejaan baku sesuai dengan Ejaan yang Disempurnakan dan mengikuti entri Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Bisa dikatakan bahwa alam bawah sadar saya selalu berusaha untuk formal dan baku dalam setiap kesempatan, bahkan ketika berinteraksi kepada orang lain. Memang tidak kepada semua orang, terlebih kepada orang terdekat, tetapi “kebakuan” itu tidak bisa hilang sepenuhnya.

Alhasil, saya lebih mudah berinteraksi dalam urusan formal seperti pekerjaan, bisnis, dsb. Namun, saya agak sedikit mengalami kendala ketika dihadapkan dengan situasi nonformal. Apalagi ketika saya berinteraksi dengan orang yang baru dikenal dalam suasana kasual.

Beberapa teman saya ingin dapat berbahasa baku agar dapat diaplikasikan dalam studi dan pekerjaannya, serta terkadang mereka menghubungi saya untuk meminta bantuan. Semua yang saya alami di atas bukanlah terjadi selama sehari semalam, melainkan sudah dipupuk sejak dini mulai masa SMA.


Ketika saya kelas 2 SMA, pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, guru meminta semua siswa/i untuk menghafalkan 4 halaman folio daftar kata baku dalam bahasa Indonesia. Selain itu, untuk materi tersebut, beliau menetapkan nilai minimum kelulusannya adalah 80. Tidak 65 seperti biasanya.

Setiap entri dari kata-kata tersebut terdiri dari kata baku beserta kata tidak bakunya. Setiap halaman terdiri dari 3 kolom dan semua tulisannya dicetak kecil. Tentu saja kami merasa khawatir tidak lulus materi ini dan sebisa mungkin kami menghafal semua kata tersebut dalam setiap kesempatan.

Saya sendiri menghafal semua kata tersebut ketika waktu istirahat sekolah, di dalam mobil antar jemput, hingga sebelum tidur. Hal ini berlangsung kurang lebih selama 1 bulan dan sangat menguras tenaga saya. Terkadang, saya menjadi enggan untuk mengerjakan tugas karena tenaganya sudah terpakai untuk menghafal.

Tiba pada hari H ulangan materi tersebut, kami khawatir dengan apa yang kami hadapi nantinya dan beberapa dari antara kami terlihat lemas. Setelah ulangan selesai, kami semua bisa bernapas lega karena tidak harus menghafal kata-kata yang sangat banyak jumlahnya itu.

Tiga hari kemudian, nilai dari ulangan tersebut telah keluar. Hasilnya, sekitar 70 persen siswa/i lulus dan sisanya harus melakukan remedial. Saya merasa sangat senang karena sudah lepas dari “ikatan”, tetapi juga turut sedih karena beberapa teman dekat saya harus mengikuti remedial.

Sejak saat itu, saya memendam perasaan marah kepada guru Bahasa Indonesia tersebut. Namun, rasa itu tidak pernah saya tunjukkan kepada beliau dan saya berusaha untuk tetap sopan ketika berinteraksi dengannya. Perasaan itu tetap berlanjut hingga saya lulus SMA pada tahun 2013.


Semua yang beliau lakukan mungkin tidak berdampak kepada semua siswa/i, tetapi itu berdampak secara langsung kepada saya. Ketika pertama kali berkontribusi di Wikipedia, saya tidak mengalami kesulitan dalam memahami ejaan dan tata bahasanya yang bisa dikatakan sangat baku.

Ketika mulai kuliah, saya bisa membantu semua anggota kelompok dalam menyusun makalah pertama kami. Karena kebetulan dosen kami sangat detail dalam penggunaan ejaan baku, alhasil kelompok kami mendapatkan nilai tertinggi. Setelah itu, beberapa teman mulai mendekat dan meminta masukan soal ejaan baku.

Saya tetap aktif berkontribusi di Wikipedia selama kuliah dan mulai ikut kegiatan komunitas kontributor Wikipedia. Bermula ikut kegiatan, saya dipercaya untuk menjadi mentor, serta pembicara dalam kegiatan seputar pengenalan dan cara berkontribusi di Wikipedia.

Bermula dari Wikipedia, saya mendapatkan kesempatan untuk bekerja di Wikimedia Foundation, sebuah organisasi nirlaba yang berfokus dalam pengembangan proyek Wikipedia dan situs kerabatnya. Salah satu keinginan yang mulanya sulit untuk diraih, tetapi pada akhirnya saya bisa bekerja di sana hingga saat ini.


Terkadang saya berpikir, apakah saya akan sampai pada titik ini apabila tidak dihadapkan dengan hafalan kata-kata baku yang menguras pikiran itu? Bisa jadi tidak, karena pada waktu itu saya tidak memiliki banyak teman dan pandangan masa depan yang sangat samar-samar.

Pada waktu itu pula, ekspektasi saya akan segala sesuatu sangatlah rendah. Selama yang saya kerjakan saat ini berhasil, maka bagi saya sudah cukup. Tidak ada keinginan sama sekali untuk ambisius seperti teman-teman lainnya di sekolah. Ya, setidaknya tak sampai gagal total.

Sekarang, saya melihat itu sebagai semesta yang berbeda (different universe) dan merasakan bahwa semua pengorbanan kami dapat membawa manfaat berkepanjangan dalam hidup. Khususnya saya sendiri yang sudah mendapatkan banyak pengalaman dengan bermula dari menghafal kata-kata baku.

Sempat terlintas di dalam benak untuk mengunjungi almamater saya pada masa SMA. Namun, saya tidak berharap banyak apabila beliau sudah tidak mengajar di sana, karena saya sendiri pun tidak pernah berinteraksi dengannya setelah lulus SMA.

Setidaknya, melalui tulisan ini ada secercah harapan ia dapat membacanya dan mengetahui bahwa muridnya ini sudah banyak mendapatkan hal baik karena beliau. Sekaligus saya ingin meminta maaf kepada beliau karena pernah menyimpan dendam sebelumnya.

Semoga semesta mendukung, agar bisa mempertemukan saya dengan beliau melalui dunia maya (tulisan ini) maupun dunia nyata (silaturahmi).


Discover more from Nohirara Swadayana

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Tinggalkan komentar Anda

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.