Hampir saja saya menganggurkan blog ini untuk kedua kalinya karena alasan kesibukan pekerjaan. Namun, akhir-akhir ini hal pekerjaan dan urusan pribadi sungguh lebih banyak menyita waktu saya, akibatnya waktu tidur saya sempat berantakan.
Saya tidak protes akan hal tersebut, karena saya bekerja digaji secara layak dan pada akhirnya waktu tidur saya sudah kembali teratur.
Sebenarnya ada satu hal yang belum saya ceritakan sebelumnya, yakni dalam sebulan terakhir ini saya sering mengalami hipertensi. Karena seluruh anggota keluarga saya merupakan keturunan berisiko tinggi mengalami hipertensi, alhasil saya pun sudah pasti akan mengalaminya.
Sebenarnya ibu saya sudah mengingatkan jauh-jauh hari, bahkan ketika awal saya masuk kuliah, bahwa kami sekeluarga berisiko tinggi menderita hipertensi. Sepemahaman saya, mereka yang mengalami hipertensi harus menjaga pola makannya agar tekanan darahnya tidak naik secara tiba-tiba.
Alih-alih mengikuti anjuran tersebut, saya lebih memilih untuk mengikuti nafsu pribadi dengan cara makan sesuka hati. Terlebih setelah mendapatkan pekerjaan terakhir saya ini, saya jadi lebih leluasa mengutamakan urusan perut (baca: makan).

Baru dalam waktu sebulan ini, saya mulai merasakan gejala-gejalanya seperti sakit kepala yang berkepanjangan, lemas, dan pengelihatan samar-samar. Hal inilah yang membuat saya harus mengurangi jam kerja dan beristirahat lebih banyak.
Sayangnya saya lupa mengambil gambar ketika ibu saya mengukur tensi terhadap saya. Namun, masih jelas di dalam ingatan bahwa tensi saya mencapai 140/103 mmHg, padahal tensi yang normal itu seharusnya di bawah 120/80 mmHg.
Tanpa berpikir panjang, ayah langsung mengambil obat Amlodipine 5mg dan meminta saya untuk langsung meminumnya. Ibu juga langsung membuatkan jus timun yang menurut pemahaman beliau bisa membantu menurunkan tensi. Setelah semuanya dilakukan, saya diminta untuk beristirahat.
Setelah kejadian itu, ibu saya rutin melakukan tensi terhadap saya. Memang tensinya mulai menurun, tetapi bukan berarti lekas normal begitu saja. Hingga pada suatu hari, tensi saya berada di 119/78 mmHg. Kesenangan dan rasa syukur terpancar jelas dari ayah dan ibu ketika melihatnya.
Masa “buruk” sudah terlewati, tetapi saya diingatkan oleh ibu bahwa hipertensi akan terus berlangsung semur hidup. Mulai saat itu, ibu selalu rutin membuatkan saya jus timun setiap pagi. Kalau boleh jujur, rasa dari jus timun bukan menjadi sesuatu yang saya sukai. Namun, mau tidak mau saya harus meminumnya.
Hingga saat ini, pola makan saya masih dipantau oleh ibu dan masakan yang beliau buat akan dikurangi lagi kadar garamnya. Apakah semua itu membuat saya senang? Tentu saja tidak. Terkadang mengubah suatu kebiasaan, bahkan buruk sekalipun, bukanlah semudah membalikkan telapak tangan.
Kebiasaan itu adalah mengonsumi makanan secara berlebihan, tanpa memperhatikan kadar gizinya. Saya cenderung tidak mempedulikan kadar garam dari suatu makanan, karena bagi saya itulah yang meningkatkan cita rasa dari makanan itu sendiri. Sekali lagi, karena hipertensi maka saya harus memikirkannya kembali.
Mungkin inilah momen di mana saya harus meninggalkan “masa muda” yang semena-mena untuk menghadapi “masa dewasa” yang penuh dengan perhatian dan pertimbangan. Dari yang awalnya semena-mena soal makanan, sekarang harus mempertimbangkan kadar gizinya sebelum makan.
Saya jadi teringat sebuah slogan, “jadi dewasa itu enak, kok”. Slogan itu ditujukan kepada anak-anak agar memiliki motivasi dalam bertumbuh jadi orang dewasa. Sayangnya, slogan tersebut tidak merepresentasikan kenyataan hidup bahwa jadi orang dewasa itu tidak selamanya enak.
“Kamu pesimis banget jadi orang.” Lho, memang kenyataannya benar, kan? 🥲
Tinggalkan komentar Anda