Seluruh tulisan yang masuk dalam kategori Cerpen adalah fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat, atau cerita, itu adalah kebetulan semata. Perhatian: cerpen ini mengandung unsur kekerasan.
Badannya gemetar, air mata tak henti membasahi pipinya, hingga bergumam tak henti. Bukan kali pertama teman-temannya melihat ia seperti ini dan semua itu disebabkan oleh turunnya hujan.
Namanya Raina, masih mengenyam pendidikan di bangku menengah atas. Sehari-hari ia selalu memastikan bahwa langit selalu tampak cerah, karena pada saat itulah ia menunjukkan sisi cerianya kepada orang lain. Teman sekelasnya menganggap ia sangat supel dalam pergaulan dan memiliki akademis yang di atas rata-rata.
Namun, teman sekelasnya juga mengetahui sisi lain dari Raina. Ketika hujan turun, satu persatu teman-teman mulai menghindarinya. Mereka tahu betul bahwa bukanlah hal yang bijak untuk menyapanya di saat seperti itu. Pernah suatu ketika salah satu temannya masuk UKS karena ditampar dengan keras oleh Raina, sembari ia menangis tak terkendali. Iya, saat itu hujan turun dengan derasnya.
Di kelasnya, ia duduk persis di depan meja guru dan bangku sebelahnya sengaja dikosongkan. Setiap guru yang akan masuk ke kelas itu sudah tahu apa saja yang harus dilakukan ketika Raina “kumat”. Ketika Raina pergi ke kantin pada waktu istirahat, teman-temannya selalu berdiskusi dan saling membantu apabila Raina mulai tidak terkendali. Alhasil, para guru dan teman-temannya selalu berharap agar hujan tak turun pada hari itu.
Percayalah, bukanlah keinginan Raina dari lubuk hati terdalam untuk memukul temannya, membuat suasana jadi suram, bahkan mengharapkan agar hujan tak turun. Ia pun selalu mengelak apabila diminta bercerita soal keluarganya.
Ketika Raina masih kecil, ia tidak sengaja melihat pertengkaran kedua orang tuanya. Tak jarang ibunya mengalami luka lebam akibat pukulan dari tangan kosong dan benda tumpul oleh ayahnya. Gemuruh disertai hujan deras selalu menjadi pertanda bahwa akan terjadi pertengkaran hebat di antara keduanya. Raina selalu menyaksikan peristiwa itu terjadi di depan matanya.
Suatu hari, Raina diajak oleh ibunya untuk kabur dari rumah. Ibunya mengendarai mobil sambil menangis dan menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya. Hujan masih turun dengan deras dan tiba-tiba sebuah cahaya sangat terang yang menyilaukan mata datang menghampiri mereka.
Seketika itu pula, Raina menangis kencang melihat ibunya yang sudah terbujur kaku bersimbah darah. “Ma! Mamaaa!!!”, teriak Raina sambil terus memeluk ibunya. Hujan semakin deras, begitu pula dengan teriakannya.
Beberapa minggu kemudian, ia masih tidak percaya akan kepergian ibunya secara mendadak. Karena ibunya sudah tiada, maka ayahnya melampiaskan kemarahannya kepada Raina. Ketika hujan turun, ia menyadari itu sebagai tanda baginya untuk lari menghindari ayahnya. Namun, usahanya selalu tidak berhasil dan pada akhirnya Raina terkena bogem mentah ayahnya.
“Anak bangsat! Gara-gara lo hidup gue jadi ancur begini!”, begitu kata ayahnya sambil tak henti memukul Raina. Suara hujan yang deras dan gemuruh kencang membisukan suara teriakan minta tolong Raina.
Ia harus mengalami siksaan itu selama bertahun-tahun, hingga pada akhirnya ayahnya menikah dengan perempuan simpanan yang ternyata sudah dimiliki sejak awal menikahi ibunya. Raina ditinggalkan sendirian dan kemudian dirawat oleh bude-nya, yaitu kakak dari almarhumah ibu Raina.
Bude-nya sangat menyanyangi Raina seperti anaknya sendiri. Berkat didikannya, Raina tumbuh menjadi anak yang giat belajar dan memiliki kemampuan akademis di atas rata-rata. Hubungan pertemanan Raina pun sangat positif dan bisa dikatakan menjadi idola di sekolahnya.
Namun, ketika hujan turun, ia harus lebih bersabar dengan Raina. Tak jarang Raina mencakar dan memukulnya sambil menangis kencang. Ia tahu betul bahwa semua itu bukanlah kehendak dari Raina, serta tetap setia untuk menenangkan Raina.
“Tidak apa-apa, Nduk. Hujannya pasti akan berhenti, kok.”, kata bude-nya sambil menenangkan Raina. Memang bukan proses yang instan, tetapi beberapa waktu kemudian dipastikan Raina akan tenang dan tertidur di pangkuannya.
Langit begitu gelap dan suara gemuruh mulai terdengar, tandanya akan turun hujan dengan deras. Seluruh guru dan teman-temannya khawatir karena Raina tidak segera masuk ke kelas. Mereka tahu sendiri akibatnya apabila mengganggu Raina di saat seperti ini, jadi mereka semua mundur perlahan dan tetap memantaunya dari kejauhan.
Tetes hujan mulai membasahi pipi Raina, tetapi ia tidak bereaksi sama sekali dan membuat semua orang di sana terheran-heran. Tak berapa lama, Raina mendengar suara yang tidak asing. “Mama?!” katanya sembari berdiri kegirangan.
“Iya, ini Mama. Bagaimana kabarmu, Nak?”
“Raina baik-baik saja. Tapi aku kangen sama Mama…”
“Yuk ke sini mendekat, peluk Mama ya”
Tanpa berpikir panjang, Raina berlari menuju ke tengah lapangan. Cahaya putih yang sangat terang menyelimuti pandangannya dan seketika itu juga ia bertemu dengan ibunya.
“Mama sayang sama kamu, Nak..”
“Raina juga sayang sama Mama…”
“Mulai dari sekarang kita tidak akan terpisah lagi untuk selamanya, Nak.”
“Iya, Raina tidak akan meninggalkan Mama lagi!”
Ketika Raina berlari, petir menyambar lapangan sekolah itu dan membuat semua orang di sana lari ketakutan. Beberapa saat kemudian setelah dirasa aman, mereka memberanikan diri ke lapangan untuk kembali melihat kondisi Raina. Semuanya terdiam, tidak percaya akan hal yang mereka lihat pada saat itu.
Hujan turun semakin deras membasahi lapangan dan mereka semua yang ada di sana.
Tinggalkan komentar Anda