Pasai

dalam
Pasai
Suasana matahari terbenam di Mojave Desert, California, Amerika Serikat. Gambar oleh: Jessie Eastland, lisensi: CC BY-SA 4.0.
Pasai: [adjektiva] jemu; bosan

Saya memiliki hobi untuk berkunjung ke salah satu acara Jejepangan terbesar di Indonesia, yaitu Comic Frontier (akronim: Comifuro). Acara tersebut rutin diadakan setiap tahunnya sebanyak dua kali, serta bisa dikatakan saya tidak pernah absen sejak pertama kali berkunjung pada tahun 2017.

Mula-mula, saya berkunjung ke acara tersebut karena iseng dan bermodalkan pengetahuan budaya populer Jepang yang sangat minim. Masih terbayang hingga saat ini bagaimana grogi dan campur aduknya perasaan saya ketika masuk pertama kalinya ke dalam acara tersebut.

Tidak lama kemudian, saya bertemu dengan beberapa orang yang sangat ramah dan tanpa segan untuk memperkenalkan “budaya” mereka. Awalnya masih terasa ragu, tetapi lambat laun saya mulai merasa nyaman karena bisa bergaul dengan mereka. Pada akhirnya, sisi “jaim” saya mulai rubuh secara perlahan.

Terlepas dari stigma para penggemar budaya populer Jepang oleh masyarakat, mereka semua (yang saya temui) adalah sosok yang profesional dari sudut padang saya. Hobi yang mereka jalani ini adalah stress reliever maupun coping mechanism dari riuhnya dunia. Bagi saya, itu hal yang sangat wajar.


Tahun demi tahun, saya rutin untuk mengikuti acara tersebut maupun acara serupa lainnya. Fokus utama saya adalah berinteraksi dan bersenang-senang bersama akan kegemaran mereka. Banyak teman baru maupun ilmu yang saya peroleh dari momen-momen tersebut.

Ketika saya masih dalam masa pencarian kerja, saya mendapatkan lowongan kerja di salah satu perusahaan melalui salah satu teman. Teman tersebut tidak lain dan bukan adalah ia yang saya temui di acara Jejepangan. Berhubung ia adalah rekan kerja saya di perusahaan tersebut, kami jadi semakin akrab.

Pernah ada satu kesempatan ketika perusahaan membuka booth di acara Comifuro, saya ditugaskan bersama rekan kerja lainnya untuk menjaga booth tersebut. Jujur saja saya agak sedih karena tidak dapat bersenang-senang, tetapi di sisi lain saya mendapatkan ilmu dalam membangun rapport kepada pengunjung acara.

Semakin banyak acara serupa yang saya kunjungi, semakin banyak pula teman-teman baru di dalam lingkar pertemanan. Jika tidak bertemu dengan mereka, maka saya tidak akan pernah menggunakan Discord. Awalnya saya tidak begitu aktif di Discord, tetapi itu akan berguna beberapa tahun kemudian.

Ketika pandemi Covid-19 melanda pada awal tahun 2020, saya lebih sering membuka aplikasi Discord untuk berinteraksi dengan teman-teman maupun mencari teman baru. Bahkan saya mendapat kesempatan untuk mengelola peladen (server) yang kini sudah berkembang jauh dengan banyak anggota di dalamnya.

Tidak habis pikir di dalam benak saya, bahwa dari sebuah momen iseng pada tahun 2017 bisa membawa saya ke kesempatan baru yang lebih luas.


Pada bulan Desember 2023, saya berkunjung ke acara Comifuro karena sedang bertugas untuk meliput acara tersebut. Baru kali ini saya merasa kurang antusias, terlepas jumlah pengunjungnya yang jauh lebih banyak dibandingkan dahulu. Raga saya berada di acara, tetapi jiwa saya seolah-olah jauh dari sana.

Berhubung saya masuk menggunakan media pass, saya mendapatkan ruangan tersendiri bagi para wartawan. Saya tetap melaksanakan tugas dalam meliput, tetapi saya mengurangi interaksi saya dengan orang lain dan memilih menghabiskan banyak waktu di ruangan tersebut.

Selama di dalam ruangan, saya sempat merasa risih sendiri akan keputusan tersebut. Bagaimana bisa sebuah acara yang membentuk hidup saya, membuat saya sendiri sekarang merasa enggan untuk ikut bersenang-senang di dalamnya? Karena merasa terganggu akan pikiran itu, saya putuskan untuk tidur sejenak.

Beberapa menit kemudian, saya terbangun dan seketika ada orang lain di sebelah saya. Pada kesempatan itu, saya mencoba untuk berinteraksi dengannya dan untung saja kami langsung klop satu sama lain. Perawakannya sangat rapi dan ternyata ia bekerja di salah satu media ternama di Indonesia.

Karena sudah merasa akrab, saya memberanikan diri untuk bercerita soal pergumulan yang saya rasakan tadi kepadanya. Dengan santai ia menjawab, “Aku bisa mengerti, kok. Sepertinya kamu sudah di tahap kamu merasa bosan akan semuanya ini.” Mendengar jawaban itu, saya terdiam cukup lama.

Ia menambahkan bahwa dahulu dirinya sama persis seperti saya, awalnya senang bisa berkunjung ke acara Jejepangan dan bertemu dengan teman baru, kemudian sekarang ia merasa jenuh karena sudah sering berkunjung ke acara tersebut. “Semua itu ada masanya, tidak ada yang abadi”, jawabnya.

“Mungkin sebagian besar dari mereka juga bosan dan memilih untuk menjalankan hobi yang lain, atau prioritas mereka sudah bergeser karena tuntutan pekerjaan dan keluarga”, pungkasnya sembari memecah keheningan ruangan. Suatu hal yang tidak saya sadari sebelumnya.

Saya juga menyadari bahwa semua orang itu akan datang dan pergi, termasuk juga teman-teman yang saya kenal baik. Mereka akan datang karena memiliki kesamaan, serta akan pergi karena melakukan kesalahan (baik disengaja maupun tidak). Intinya, ini semua adalah proses kehidupan yang harus dijalani.

Tiba-tiba, ia harus segera pergi karena ada suatu hal. Tanpa berpikir panjang, kami langsung saling bertukar kartu nama. Setelah ia keluar dari ruangan, di dalam hati kecil saya berharap agar ia masih bisa mengingat saya dan momen berharga ini. Saya juga ingin agar ia menghubungi saya, meskipun jangan terlalu berharap.


Sejak kejadian tersebut, saya bimbang apakah ingin melanjutkan “tradisi” berkunjung ke acara Jejepangan seperti dahulu atau tidak sama sekali. Mungkin saya akan mengiyakan apabila diajak oleh beberapa teman, tetapi apabila berangkat atas inisiatif sendiri (dan tanpa teman) maka kemungkinan besar saya menolaknya.

Terlepas dari semua itu, saya tidak memiliki masalah kepada teman-teman yang saya temui dari semua acara di atas. Justru melalui kesempatan ini, saya ingin berterima kasih kepada kalian karena sudah membentuk saya menjadi sosok yang lebih baik (secara langsung maupun tidak langsung).

Dari lubuk hati terdalam, saya ingin meminta maaf apabila tindakan saya yang disengaja atau tidak membuat kalian tak nyaman dan/atau memilih untuk berpaling. Saya sadar bahwa saya jauh dari kata sempurna, tetapi saya juga sadar bahwa masih ada keinginan untuk berproses dan bertumbuh.

Terakhir, memang benar pada saat ini saya ada di tahap rasa bosan untuk mengunjungi acara tersebut, tetapi saya tidak pernah bosan untuk bertemu dengan kalian. Jika semesta berkenan, kita bisa berkumpul kembali dengan perasaan gembira dan antusias layaknya pertama kali kita bertemu.

Sepemahaman saya, bahwa sebentar lagi akan ada acara Jejepangan dalam waktu dekat. Apakah rasa itu akan sirna? Mungkinkah?


Discover more from Nohirara Swadayana

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

2 responses

  1. begitulah, jika “kesenangan” atau “hobi” menjadi suatu pekerjaan. kesenangan tersebut akan hilang. misal hobi traveling, jika diubah jadi pekerjaan, walau menyenangkan karena merasa hobinya menghasilkan uang, namun lama-lama kesenangan tersebut akan hilang, dan berubah menjadi “tanggung jawab” dan “kewajiban”.. tapi lagi-lagi, ini kembali ke individunya, karena banyak juga yang bisa terus menikmati hobi sekaligus pekerjaannya tersebut.

    1. Sejatinya hobi itu adalah sesuatu yang dilakukan sebagai selingan dari aktivitas sehari-hari. Wajar saja apabila sesuatu yang sepatutnya adalah selingan dijalankan sebagai suatu kewajiban akan membuat seseorang menjadi jenuh.

      Namun, memang benar bahwa semua itu kembali lagi kepada individu yang menjalankannya.

Tinggalkan komentar Anda

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.