Touché

dalam
Touché
Ilustrasi mengacungkan jempol. Gambar oleh: Wakalani, lisensi: CC BY-SA 2.0.

Terlepas dari peran de jure saya sebagai seorang kakak, adik perempuan saya bisa dikatakan jauh lebih tegas dan berani jika dibandingkan dengan kakaknya. Tidak jarang dalam berargumen pun adik saya lebih unggul.

Sejujurnya saya sangat bangga ia memiliki kemampuan tersebut, tetapi terkadang saya merasa malu dibuatnya. Ketika diajak berdiskusi, hampir setiap saat bisa diprediksikan bahwa pada akhirnya saya akan berkata, “kamu benar juga, Dik.” Setelah mendengar jawaban itu, raut wajahnya langsung berseri-seri.

Meskipun begitu, hubungan kami sangat sehat dan saling mendukung satu sama lain. Ketika ada waktu luang, saya selalu mengajaknya untuk jalan-jalan secara manasuka. Tak jarang ada yang beranggapan kami sedang berpacaran karena sering pergi berdua. Kami hanya tertawa kecil akan anggapan tersebut.

Kedekatan saya dengan adik perempuan saya bukanlah tanpa alasan, melainkan ia sudah menyelamatkan hidup saya dalam keterpurukan.


Setiap akhir pekan, seusai mengikuti misa di gereja, kami selalu menyempatkan waktu untuk nongkrong di kafe favorit. Dalam satu kesempatan, kami membahas hal yang remeh temeh hingga akhirnya mengerucut ke arah yang serius. Pada saat itulah, raut wajahnya berubah.

“Mas, pada minggu ini kamu kenapa? Jujur saja.”

Pertanyaannya terdengar sederhana, tetapi untuk menjawabnya tidak semudah itu. Pada momen tersebut, saya membayangkan ia seperti ibu yang sedang menginterogasi saya. Raut wajah dan nada bicaranya sangat mirip. Saya sangat takut sekali.

Sewaktu kecil, saya sering sekali dimarahi dan dihukum oleh ibu saya ketika melakukan kesalahan. Memang beliau tidak pernah melakukan kekerasan fisik, tetapi beliau selalu mendiamkan saya ketika diberi hukuman. Tentu saja fisik saya tidak sakit, melainkan mental saya.

“Kenapa, Mas? Kamu tidak apa-apa?”

Omongan adik saya tersebut memecah pikiran saya yang semrawut. Namun, mendengar hal tersebut membuat saya sedikit lebih tenang dan mencoba untuk terbuka. Saya ceritakan bahwa pertanyaan ia tadi membuat saya takut untuk jujur, karena mirip seperti saya dihukum oleh ibu ketika masih kecil.

“Aku ini adikmu, Mas. Jelas beda jauh dengan mama. Memang benar aku lebih sering cerita dengan mama, tetapi aku tetaplah aku.”, ujarnya sambil tertawa agar mencairkan suasana.

Gestur sederhana itulah yang pada akhirnya membuat saya merasa nyaman untuk bercerita. Setelah bercerita panjang lebar, ia mengapresiasi keberanian saya untuk lebih terbuka dan mencoba memberikan masukan dari apa yang ia pahami.

Secara sukarela, adik saya bersedia untuk menjadi perantara dalam menceritakan semua masalah saya kepada beliau. Dari hal itu, saya menyadari bahwa ibu sebenarnya sangat menyayangi saya, tetapi kekhawatiran kepada saya ketika masa kecil menjadikannya tegas dan membuat saya takut kepada ibu saya sendiri.

Ketika saya masih kecil, ibu saya mengalami banyak tekanan hidup mulai dari absennya sosok ayah hingga kondisi keuangan yang jauh dari kata layak. “Tidak jarang mama bersikap seperti itu karena tertekan setiap hari, tetapi mama selalu berusaha untuk menjadi orang tua yang baik.”, pungkas adik saya.

Sejak saat itu, saya menjadi lebih berani untuk bercerita segala hal yang dialami kepada ibu maupun ayah saya. Secara perlahan, hubungan saya dengan keluarga secara perlahan mulai pulih. Saya mensyukuri kehadiran mereka dan menjadikan saya lebih nyaman di rumah, alih-alih di luar (baca: jalan-jalan bersama teman).


Pada lain kesempatan, kami kembali mengunjungi kafe tersebut untuk nongkrong. Setelah bercerita panjang lebar hingga pukul 9 malam, adik saya memberikan sinyal untuk bergegas kembali ke rumah dan berkata:

“Nah, benar apa yang aku omongkan, Mas? Hehe”

Sambil tersenyum, saya latah menjawab “touché!“. Ia sempat bingung apa artinya, kemudian saya menjelaskan sesuai dengan yang tertera di sini. Setelah mengetahui maknanya, ia tersenyum lebar dan raut wajahnya berseri-seri.


Discover more from Nohirara Swadayana

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Tinggalkan komentar Anda

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.