Penunjuk Arah

dalam
Penunjuk Arah
Ilustrasi sistem penunjuk arah yang dipasang di dalam mobil. Gambar oleh: Gareth Simpson, lisensi: CC BY 2.0.

Suatu ketika, saya harus pergi ke tempat yang belum pernah dikunjungi karena urusan pekerjaan. Berhubung lokasinya jauh dari transportasi umum, saya putuskan untuk menggunakan taksi langganan agar lekas sampai ke tujuan.

Sekilas informasi, pengemudi taksi langganan saya tersebut sosoknya sangat ramah dan pembawaannya nyaman. Beliau pernah berpendapat bahwa lebih senang apabila ada penumpang yang tidak sungkan untuk diajak berbicara. Berhubung saya senang berbicara, alhasil kami akrab dengan mudahnya.

Agar tidak merepotkan beliau, saya menghubungi pengemudi tersebut dua hari sebelumnya. Selain itu, saya juga mempersiapkan rute perjalanan ke lokasi tujuan menggunakan Google Maps. Tidak sebatas mengetahui lokasinya, melainkan juga berapa lama waktu yang ditempuh untuk mencapai tujuan.

Memang bukan menjadi kewajiban saya sebagai penumpang untuk mempersiapkan hal tersebut. Namun, karena saya sudah akrab dengan beliau, setidaknya hal ini bisa meringankan beban kerjanya yang harus berada di balik kemudi sepanjang hari.


Dalam perjalanan, kami membahas beragam topik sebagai cara untuk menghilangkan rasa bosan. Tidak disangka, karena keasyikan mengobrol, tak sadar kami melewatkan jalan yang sudah ditentukan oleh Google Maps itu sendiri. Sialnya lagi, jalan tersebut adalah rute tercepat untuk mencegah kemacetan.

Tak lama setelah melewatkan jalan tersebut, Google Maps langsung mengarahkan kami ke jalan lain. Namun, rutenya menjadi lebih jauh dan membutuhkan waktu sedikit lebih lama agar sampai ke tempat tujuan. Terlepas dari semua itu, setidaknya rute yang dipilih bukanlah wilayah macet.

“Aduh, maaf sekali, Pak. Gara-gara kita keasyikan mengobrol jadi tidak bisa sampai lokasi tepat waktu”, ujarnya dengan rasa menyesal.

“Tidak apa-apa, kok. Anggap saja kita bisa menggali lebih dalam apa yang barusan kita obrolkan. Namun, biar tidak kelupaan maka saya akan menyalakan GPS sebagai pengingat agar tidak terlewat lagi”, balas saya sembari bergegas membuka Google Maps.

Dari kaca depan, saya bisa melihat raut wajahnya kembali berseri dan saya pun juga senang melihatnya. Setelah melewati jalan yang panjang, akhirnya kami sampai di tujuan. Beliau mengucapkan terima kasih dan saya pun turun dari taksi.

“Nanti jam 6 sore saya jemput ya, Pak!”, ujarnya dengan tersenyum.

“Benar, Pak. Nanti akan saya WA lagi. Terima kasih dan hati-hati, ya!”, balas saya sambil bergegas masuk ke dalam ruangan.

Hari itu seluruh urusan pekerjaan berjalan dengan lancar dan saya langsung bergegas untuk menghubungi beliau agar lekas menjemput. Selagi menunggu taksi datang, saya memiliki waktu sendiri untuk termenung akan satu hal.


Google Maps dan aplikasi penunjuk arah lainnya menjadi bagian integral dalam kehidupan kita. Banyak orang yang menggunakan aplikasi ini sebagai pemandu dalam perjalanan seberapa pun jauhnya. Bahkan beberapa kendaraan (terutama mobil) sudah menyediakan aplikasi ini dan langsung dapat digunakan.

Setelah menentukan titik tujuan, sebisa mungkin kita mengikuti rute yang telah ditentukan. Namun, apabila kita harus memilih rute lain karena suatu hal, maka aplikasi penunjuk arah akan langsung memilih rute lainnya.

Tak jarang rute lain yang dipilih tersebut bisa lebih jauh dan memakan waktu lebih lama dibandingkan rute awal, tetapi setidaknya aplikasi penunjuk arah tak serta merta menyalahkan pengemudi begitu saja. Ia bersedia untuk menuntun pengemudi agar setia sampai ke tempat tujuan.

Hm, mungkin tidak ada salahnya bagi saya untuk jadi seperti aplikasi penunjuk arah. Bukan hanya sekali saya salah dalam mengambil keputusan dan harus menanggung akibatnya pula. Namun, mungkin saja hal tersebut harus saya hadapi karena itu adalah rutenya.

Seperti kata orang bahwa pengalaman adalah guru yang berharga, bisa saja saya tidak akan mendapatkan ilmu kehidupan jika tidak melewati rute tersebut. Melalui kesalahan, saya bisa tahu apa yang harus dilakukan agar hal tersebut tak terulang kembali. Bukan hal yang mudah memang, tetapi masih bisa saya pegang erat.

Layaknya aplikasi penunjuk arah, saya tidak boleh begitu keras kepada diri sendiri. Akui saja bahwa saya pernah melakukan kesalahan dan cobalah untuk mencari cara agar keluar dari sana. Jalannya bisa jadi lebih panjang dan melelahkan, tetapi setidaknya masih ada apresiasi untuk tetap bertahan hidup.

Pada akhirnya, tujuan akhir dari setiap insan adalah kebahagiaan sejati. Tidak ada yang berkata bahwa perjalanan hidup ini akan mudah, tetapi tetaplah setia agar sampai ke tujuan itu. Baru kali ini saya mengapresiasi aplikasi penunjuk arah sebagai pengingat agar terus berjuang dalam mengarungi bahtera kehidupan.


Tak berapa lama kemudian, klakson dari taksi langganan memecah lamunan saya. Ketika sudah masuk ke dalam taksi, beliau menyapa saya dengan berseri-seri.

“Selamat sore, Pak! Ini langsung balik ke rumah, ya? Mungkin boleh minta bantuannya untuk menyalakan lagi GPS-nya agar tidak kelewatan lagi”, pungkasnya sambil tertawa.

“Ah, masa rute ke rumah saya lupa begitu saja? Padahal kita sering pergi bareng”, balas saya juga sambil tertawa.

Namun, pada akhirnya saya tetap menyalakan aplikasi penunjuk arah supaya tidak mengulangi kesalahan yang sama. Sepanjang perjalanan, kami tetap asyik mengobrol seperti biasanya. Beliau sempat terheran-heran kenapa saya tadi sempat melamun.

“Oh, itu. Cuma soal GPS, kok”, jawab saya sambil kebingungan.

Karena beliau juga bingung akan jawaban saya, pada akhirnya kami tertawa bersama dalam perjalanan pulang.


Discover more from Nohirara Swadayana

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Tinggalkan komentar Anda

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.