Selamat Datang

dalam
Selamat Datang

Tanggal 24 Desember, setahun yang lalu.

Sebuah jalan menuju ke gereja sangatlah ramai akan kendaraan, maklum saja karena pada hari itu adalah perayaan Malam Natal. Namun, ada satu hal yang tidak bisa saya pahami, yaitu bagaimana bisa beberapa umat dengan santainya memarkirkan mobil mereka di pinggir jalan.

Alhasil, pergerakan lalu lintas umat lainnya yang menggunakan motor maupun berjalan kaki menjadi sangat lambat. “Dasar wong bajingan, seenaknya saja parkir mobil di pinggir jalan!”, gumam dan geram saya dalam hati. Mood saya pun juga turut berubah karenanya.

Sore itu cuacanya sangat panas dan hal ini semakin memperburuk suasana hati saya. Setelah bersusah payah memarkirkan motor saya, kami sekeluarga sepakat untuk mengikuti misa di gedung pastoral yang berada persis di sebelah bangunan gereja utama. Kemudian ibu saya menimpali:

“Mas, di sana kan ruangannya lebih dingin, supaya jiwa dan ragamu tenang selama mengikuti misa dan tidak cemberut terus”. Saya mengiyakan perkataan beliau sambil berjalan menuju ke lantai tiga gedung tersebut.

Setelah kami tiba dan duduk di dalam ruangan, entah bagaimana pikiran saya berkecamuk akan beberapa hal di masa lalu yang membuat saya malu untuk mengingatnya kembali.


Saya ingin jujur akan satu hal, bahwa saya pernah menjadi agnostik beberapa tahun yang lalu. Saya sudah dibaptis dan menerima krisma secara Katolik, KTP saya pun juga tercetak “Katolik”, tetapi di dalam hati saya sangat jauh dari yang namanya unsur ke-Katolik-an.

Bahkan saya pernah mengkritik dengan keras salah satu sakramen yang ada di Gereja Katolik, yaitu Sakramen Tobat. Pikiran saya pada saat itu adalah buat apa meminta ampun melalui perantaraan imam atau romo? Toh, saya bisa secara langsung meminta ampun kepada-Nya dengan cara berdoa sendiri.

“Semua itu tidak ada di dalam Alkitab, bidah itu!”, kalimat itulah yang dahulu sempat keluar dari mulut saya. Hubungan saya dengan kedua orang tua sempat renggang cukup lama karena hal itu, terlebih mereka adalah Katolik yang cukup taat. Pikir saya waktu itu, mereka semua adalah sesat.

Saya lebih sering mengandalkan diri sendiri dibandingkan dengan Tuhan. Berdasarkan yang saya alami pada waktu itu, semua hal bisa saya raih dengan tangan saya sendiri. Pandangan saya saat itu, Tuhan tidak berbuat dan/atau bertindak apa pun di dalam hidup saya dalam meraih keinginan.

Saya meninggalkan konsep ke-Tuhan-an secara Katolik, hingga memilih untuk menjadi agnostik. Waktu itu saya tetap percaya adanya Tuhan, tetapi tidak mau percaya dengan dogma agama.

The Return of the Prodigal Son.
Lukisan oleh: Bartolomé Esteban Murillo, lisensi: Domain publik.

Namun, beberapa tahun setelahnya, semua hal yang saya miliki hilang dan lenyap begitu saja. Saya jatuh dalam keterpurukan dan hampir hilang akan harapan hidup. Bayang-bayang kemurkaan Tuhan langsung terlintas di dalam pikiran, hingga membuat saya menangis ketakutan.

Karena tangisan saya yang cukup keras, ayah dan ibu tiba-tiba menghampiri saya. Mereka tidak memarahi maupun menuduh saya yang bukan-bukan, melainkan memberikan kesempatan saya untuk menangis di pangkuan mereka. Setelah diingat-ingat lagi, mungkin itulah pertama kali saya merasakan kembali rahmat-Nya.

Beberapa saat kemudian, ketika saya sudah tenang, mereka meminta saya untuk berdoa kepada Bunda Maria melalui rosario maupun novena. Saya yang sudah “mencap” diri ini sebagai agnostik, langsung menuruti permintaan mereka tanpa berdebat dan bertanya.

Setelah berdoa novena, secara perlahan saya mulai pulih secara rohani. Mula-mula saya melangkah kembali ke gereja bersama keluarga setelah bertahun-tahun tidak mengunjunginya, hingga saya bisa kembali mengikuti pendalaman iman Katolik melalui retret.

Saya tidak mengklaim bahwa sekarang saya sudah suci dan kudus. Sudah jelas saya masih jauh dari kata sempurna, terlebih masih dan akan berbuat dosa (baik secara sadar maupun tidak sadar). Namun, saya sudah menyadari bahwa tanpa bantuan tangan-Nya, saya tidak akan bisa menjalani kehidupan ini.

Batin saya berjanji bahwa saya ingin berusaha semaksimal mungkin untuk tetap setia pada gereja-Nya yang satu, kudus, Katolik, dan apostolik.


Lamunan terpecah ketika ibu meminta saya untuk berdiri karena misa Malam Natal sudah dimulai. Semua lampu di ruangan tersebut dimatikan karena umat diminta untuk menggunakan lilin. Lilin dibagikan dan api dinyalakan, kemudian kami semua menyanyikan lagu S’lamat S’lamat Datang (PS 460).

S’lamat s’lamat datang, Yesus Tuhanku
Betapa dari jauh kunjungan-Mu
Dari surga tinggi Dikau datang bagiku,
Walaupun sekarang tak tampak wujud-Mu
Ya Tuhanku!

Ketika menyanyikan lagu tersebut, di dalam hati saya turut berkata “Selamat datang kembali, Yesus Tuhanku! Terima kasih sudah memberikan kesempatan bagi saya untuk kembali kepada-Mu.” Mood saya yang awalnya tidak bagus, kemudian berubah menjadi senang berseri-seri.

Saya mengikuti proses misanya hingga selesai dengan baik. Dalam perjalanan pulang menuju tempat parkir motor, saya merasakan angin sepoi-sepoi yang menyejukkan. Padahal kondisi saat itu sedang banyak umat yang berjalan pulang, tetapi saya berpikir Tuhan menyapa melalui angin nan menyejukkan itu.

“Nah, bagaimana dengan perayaan Natal pada tahun ini?”

Tidak ada masalah yang berarti, terlebih kondisi lalu lintas sudah lebih terkendali apabila dibandingkan dengan tahun lalu. Setidaknya sudah tidak ada umat yang memarkirkan mobilnya secara sembarangan di pinggir jalan. Saya anggap hal tersebut adalah poin plus dari perayaan Malam Natal tahun ini.

Aku bergembira atas datang-Mu
Dan aku menyanyikan tembang merdu.
Dikau dilahirkan pada malam yang kudus
Oleh dara murni yang sungguh mulia
Ya Tuhanku!


Discover more from Nohirara Swadayana

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

2 responses

  1. Selamat Natal, Mas.
    Semoga Natal dan esoknya membawa pencerahan bagi semua orang. 🙏😇🎄

    1. Terima kasih sekali, Paman! 🙏😇🎄

Tinggalkan komentar Anda

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.