Pada tahun 1996, di sebuah rumah sakit di Yogyakarta, saya divonis terkena kanker ginjal. Bukan hal mudah bagi ibu saya untuk mendengar berita itu, terlebih lagi pada waktu itu beliau harus berjuang sendiri untuk membesarkan saya tanpa hadirnya sosok ayah.
Ayah saya harus bekerja jauh dari rumah untuk menyambung hidup keluarga kecil kami yang jauh dari kata mapan. Berhubung biaya pengobatan saya tidaklah murah, ibu harus meminjam uang dari saudari-saudarinya dan menyisihkan hampir semua barang yang beliau miliki untuk dijual.
Saya ditempatkan di sebuah bangsal dengan 4 anak lainnya yang kurang lebih memiliki vonis serupa. Kondisi saya kian memburuk dan pada akhirnya dokter memutuskan untuk mengangkat ginjal sebelah kanan saya agar tidak menyebar ke seluruh ginjal. Tidak ada pilihan lain, ibu saya mengiyakan putusan tersebut.
Menurut dokter, tingkat keberhasilan dari operasi tersebut adalah 50 persen. Bisa dikatakan antara hidup atau mati. Ibu saya tidak bisa berbuat banyak, selain berdoa memohon kepada Tuhan untuk keselamatan nyawa saya. Selain itu, beliau juga tak henti-hentinya berdoa rosario dan Novena Tiga Salam Maria.
Beberapa bulan setelah itu.
Puji Tuhan operasi dinyatakan berhasil, yaitu ginjal sebelah kanan sudah bisa diangkat dan tidak jadi menyebar ke seluruh ginjal. Namun, kebahagiaan tidak berlangsung lama karena kondisi saya masih dikatakan kritis dan dibutuhkan perawatan intensif di rumah sakit selama setahun.
Menurut pengakuan ibu, saya tidak memiliki nafsu makan sama sekali pasca operasi. Jika dimasukkan makanan, maka secara refleks akan dimuntahkan lagi. Untung saja saya masih tetap hidup karena adanya infus, tetapi tubuh saya sangat kurus dan pucat.
Sembari menangis, ibu tetap memaksakan saya agar makan terlepas tubuh saya menolak terus menerus. Baginya, lebih baik sedikit nutrisi masuk daripada tidak sama sekali. Ketika saya sudah makan dan tertidur, ibu tidak henti-hentinya berdoa rosario semalaman.
Setelah keluar dari rumah sakit.
Pada akhirnya kami sekeluarga bisa berkumpul kembali. Selain itu, saya bisa mendapatkan kesempatan untuk bermain dan belajar seperti anak lainnya. Ibu saya berkata bahwa raut wajah saya sangat cerah dan ceria, serta tak henti-hentinya beliau berkata bahwa ini adalah hadiah terbaik dari Tuhan.
Bunda Maria, ibu dari Tuhan Yesus Kristus, menjadi sosok yang sangat beliau andalkan ketika masa sulit dan senang. Sebelum tidur, beliau berkata bahwa saya sering didoakan Salam Maria agar bisa tertidur:
Salam Maria,
Penuh rahmat Tuhan serta-Mu,
Terpujilah Engkau di antara wanita,
Dan terpujilah buah tubuh-Mu, Yesus.
Santa Maria, Bunda Allah,
Doakanlah kami yang berdosa ini,
Sekarang dan waktu kami mati,
Amin.
Ibu juga berharap agar anaknya (baca: saya) selalu bisa mengandalkan Tuhan dalam hidup sehari-hari, serta berdevosi kepada Bunda Maria. Kasih sayang-Nya melebihi manusia manapun dan bisa memberikan kekuatan dalam menghadapi situasi apapun.
Dua puluh enam tahun kemudian.
Saya masuk ke dalam fase tidak percaya akan rahmat dari Tuhan dan memilih untuk mengandalkan diri sendiri. Jangankan ke gereja dan mengikuti misa, berdoa saja tidak mau. Hidup saya merasa di atas angin dan seolah-olah bisa meraih semuanya dengan mudah.
Ibu sudah mengingatkan saya agar untuk kembali mengikuti misa sekeluarga di hari Minggu, tetapi saya menolaknya. Selain itu, ibu juga tak henti-hentinya berdoa, tetapi saya tidak menggubrisnya. Lebih tepatnya, saya mengiyakan di mulut, tetapi tidak dari dalam hati.
Setiap saya bangun tidur, ibu selalu menyetel lagu Ndèrèk Dewi Maria di depan ruang keluarga. Saya tidak tahu secara pasti alasan beliau memilih lagu tersebut, tetapi saya menduga agar anaknya mau untuk kembali berdevosi kepada Bunda Maria. Sayangnya lagu itu hanya masuk kuping kanan dan keluar kuping kiri saya.
Tahun 2024.
Bisa dikatakan saya hampir kehilangan motivasi untuk hidup dan pada akhirnya enggan untuk produktif. Pikir saya pada waktu itu, apakah ini semua karena saya jauh dari Tuhan? Ya, saya sempat percaya bahwa Tuhan menghukum saya karena tidak setia pada-Nya.
Ayah dan ibu saya langsung menghampiri secara tiba-tiba. Seperti tahun-tahun sebelumnya, mereka menawarkan saya untuk berdoa. Selain itu, mereka juga menekankan untuk melakukan devosi kepada Bunda Maria melalui rosario dan novena. Anehnya, saya langsung mengiyakan permintaan mereka secara tulus.
Di dalam keheningan kamar, saya kembali mengucapkan doa Salam Maria yang sudah lama tidak diucapkan itu:
Salam Maria,
Penuh rahmat Tuhan serta-Mu,
Terpujilah Engkau di antara wanita,
Dan terpujilah buah tubuh-Mu, Yesus.
Santa Maria, Bunda Allah,
Doakanlah kami yang berdosa ini,
Sekarang dan waktu kami mati,
Amin.
Saya menangis tak henti, tetapi setelah itu saya merasakan kelegaan hati yang luar biasa. Benar sekali apa yang dikatakan ibu saya ketika (saya) masih kecil, bahwa Bunda Maria bisa diandalkan dalam kondisi apapun. Ia mau mendengarkan dan meringankan hati anak-Nya ini.
Pelan-pelan, saya memulai kembali untuk rutin mengikuti misa setiap minggunya. Kali ini saya selalu merasa ada yang kurang jika tidak ke gereja dan selalu menantikan momen tersebut. Pada akhirnya saya menyadari bahwa kebaikan Tuhan selalu menyertai dari saya lahir hingga saat ini.
Saya berhutang banyak kepada ayah, ibu, dan adik saya agar selalu setia mengingat kebaikan-Nya dengan cara berdoa dan rutin mengikuti misa. Mereka yang bersedia menarik saya dari kegelapan dan berjalan ke arah terang kasih-Nya.
Saat ini, ketika tulisan ini dibuat.
Sebelum tidur, saya selalu memiliki kebiasaan untuk mendengarkan lagu Ndèrèk Dewi Maria sebelum berdoa novena. Lagu yang diciptakan oleh alm. Gregorius Djaduk Ferianto tersebut dapat membuat hati saya tenang dan siap untuk berdoa.
Rosario yang saya gunakan ini dibawakan oleh bude ketika mengunjungi Lourdes untuk wisata rohani. Selain membawa peralatan kerja, saya juga membawa rosario ini di dalam tas ketika berpergian.
Tiada angin dan hujan, ibu saya kembali menyetel lagu Ndèrèk Dewi Maria di ponselnya. Sayup-sayup liriknya yang indah membuat saya yakin untuk menyelesaikan tulisan ini dan menerbitkannya.
Ndèrèk Dewi Maria, tamtu geng kang manah.
Mboten yèn kuwatosa, ibu njangkung tansah.
Kanjeng Ratu ing swarga amba sumarah samya.
Sang Dewi, Sang Dewi mangèstunana,
Sang Dewi, Sang Dewi mangèstunana.
Nadyan manah getera, dipun goda sètan,
nanging batos èngetnya, wonten pitulungan.
Wit Sang Putri Maria, mangsa tèga anilar.
Sang Dewi, Sang Dewi mangèstunana,
Sang Dewi, Sang Dewi mangèstunana.
Tinggalkan komentar Anda