Secukupnya

Secukupnya
Pemandangan Gunung Pacaya yang berada di Guatemala. Gambar oleh: Christopher Crouzet, lisensi: CC BY-SA 4.0.

Ketika saya secara sukarela dan sadar untuk berhadapan dengan segala hal yang ada di media sosial, terkadang hal itu menjadikan saya berkecil hati. Mohon untuk dimaklumi, karena saya masih manusia.

Di media sosial bertebaran pemengaruh (influencer) yang memperlihatkan “kesukesannya” dengan berbagai cara, mulai dari pamer kekayaan, jalan-jalan ke tempat nan eksotik, bersama dengan yang tersayang, hingga memberikan cara agar bisa seperti mereka dengan mengikuti kelas yang tak masuk akal harganya.

Saya bisa mengerti alasan sebagian generasi muda saat ini merasa khawatir apabila tidak sukses, karena hampir setiap saat mereka diperlihatkan dengan standar kesuksesan yang dibentuk oleh pemengaruh itu sendiri di media sosial. Mereka hanya bisa melihat “kesuksesan” itu, serta belum tentu dapat merasakannya.

Pada saat rehat siang setelah beberes rumah, saya memutuskan untuk membuka YouTube di ponsel dan tiba-tiba diperlihatkan video ini:

Saya tertegun dengan apa yang disampaikan di video tersebut, terlebih pada bagian “the grass is greener where you water it” dan “be thankful for what you do have“. Entah mengapa baru kali ini saya menemukan pemengaruh yang dapat menenangkan hati, alih-alih berkecil hati.

Alhasil, saya tertarik untuk melihat beberapa video yang dibuat olehnya dan bagi saya itu adalah keputusan yang tepat. Pandangan saya dibukakan lebih jauh untuk melihat apa yang sudah saya miliki dan capai hingga saat ini. Tidak melulu soal hal besar, tetapi hal kecil juga turut saya perhatikan karenanya.


Bagi yang belum tahu, saya tidak mendapatkan ijazah S-1 karena saya mengundurkan diri dari perkuliahan pada tahun 2017. Alasannya? Saya mengalami depresi berkepanjangan setelah semester 4 dan akibatnya kesehatan saya menurun drastis.

Di Indonesia sendiri, sangat sulit untuk mencari pekerjaan kantoran tanpa gelar sarjana. Pada kenyataannya, mereka yang sudah memiliki ijazah S-1 belum tentu mendapat pekerjaan, apalagi saya yang tidak memiliki ijazah tersebut sama sekali.

Sempat putus asa, beberapa minggu kemudian saya mendapat kesempatan bekerja di organisasi nirlaba favorit saya untuk mengerjakan proyek kompetisi menulis. Saya sedikit berbangga pada saat itu sudah bisa menghidupi diri sendiri tanpa harus meminta uang dari orang tua ketika masih kuliah.

Setelah proyek itu selesai, saya memberanikan diri untuk melamar di perusahaan komik digital sebagai admin media sosial. Pihak Sumber Daya Manusia (SDM) perusahaan itu melihat portofolio saya dalam mengelola akun media sosial Wikipedia bahasa Indonesia dan akhirnya saya diterima di perusahaan tersebut.

Saya belajar banyak selama bekerja di sana, serta merasa lebih leluasa dalam hal keuangan. Namun, ketika awal pandemi Covid-19 melanda Indonesia, sebagian besar karyawan di sana harus dirumahkan termasuk saya. Jujur saja, saya sempat putus harapan dan sempat mengalami depresi karenanya.

Selama dua tahun, saya harus memperketat pengeluaran dan menerima beberapa pekerjaan dalam waktu tertentu agar tabungan senantiasa terisi. Dari sini saya belajar lebih untuk mengelola keuangan agar tidak boros, serta mendekatkan diri kepada Tuhan.

Tiada angin dan hujan, saya dihubungi oleh rekan untuk bekerja di salah satu organisasi impian saya sejak lama. Organisasi tersebut adalah Wikimedia Foundation. Singkatnya, organisasi ini adalah organisasi nirlaba yang membawahi proyek Wikipedia dan situs web lainnya di bawah payung Proyek Wikimedia.

Bukan main senangnya, karena saya yang bukan siapa-siapa (baca: tidak mendapat ijazah S-1) bisa bekerja di organisasi nirlaba skala internasional. Setelah mulai bekerja, kepercayaan diri dan kemampuan berbicara saya meningkat karena semua pekerjanya menyambut maupun menyemangati saya dalam bekerja.

Bisa dikatakan bahwa momen ini menjadi titik balik saya, karena dari bukan siapa-siapa menjadi seseorang yang dipercaya dalam mengerjakan beberapa proyek untuk ensiklopedia daring (online) kenamaan yakni Wikipedia. Sekali lagi, bukan main senangnya saya.


Ketika saya melihat video dari pemengaruh yang memperlihatkan “kesukesannya”, mata hati saya tertutup akan segala hal yang sudah saya dapatkan selama ini. Memang saya tidak sekaya mereka, tetapi saya mendapatkan pendapatan yang bisa dikatakan lebih dari cukup dan dapat menghidupi kami sekeluarga.

Ketika saya melihat video dari pemengaruh yang memperlihatkan “kesuksesannya”, saya merasa minder dengan apa yang saya miliki. Memang barang milik saya tidak semewah mereka, tetapi saya dapat membeli beberapa barang baru secara rutin yang dapat menunjang pekerjaan dan kehidupan sehari-hari.

Ketika saya melihat video dari pemengaruh yang memperlihatkan “kesuksesannya”, saya merasa tidak mendapatkan kenyamanan. Memang benar saya tidak bisa menikmati tempat nan eksotik, tetapi saya dapat menikmati kenyamanan yang bisa diperoleh dari kebahagiaan dan kehangatan keluarga sendiri.

Saya merasa bersyukur dapat dipertemukan dengan video dari pemengaruh tersebut yang mengajarkan untuk merasa cukup dengan apa yang dimiliki. Tidak ada yang salah dengan berambisi, tetapi kita tetap harus ingat untuk menapak tanah dan berbangga dengan apa yang telah diraih.

Normalisasi hal yang biasa saja, karena itulah yang lebih realistis bagi sebagian besar dari kita. Tidak perlu melihat rumput tetangga yang hijau, karena kita bisa menyiram rumput sendiri agar terlihat hijau. Tak usah berlebihan, karena secukupnya sudah dapat memberikan kita rasa nyaman.


Ingin mendapatkan pos terbaru terlebih dahulu?

Berlangganan sekarang juga untuk mendapatkan pos terbaru melalui surel

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.