Sebagai seorang Katolik sejak lahir, saya disekolahkan di sekolah Katolik dari tingkat dasar hingga menengah atas. Semua sekolah itu berada di dalam satu yayasan dan lokasi. Jadi, selama 12 tahun saya menimba ilmu dan berkembang di tempat yang sama.
Ketika duduk di bangku kelas 3 SMP, lebih tepatnya beberapa minggu sebelum Ujian Nasional, saya beserta teman sekelas menyambut kedatangan dari pihak salah satu sekolah yang bernama SMA Seminari Mertoyudan.
Mungkin sebagian dari Anda yang beragama Katolik mengetahui bahwa sekolah ini merupakan salah satu seminari kenamaan di Indonesia. Sekolah ini mempersiapkan seseorang yang merasa terpanggil secara rohani untuk menjadi pastor di Gereja Katolik.
Pada saat itu saya tidak berpikir untuk masuk ke seminari dan menjadi pastor. Namun, saya turut mendengarkan apa saja yang disampaikan oleh pihak seminari tersebut, termasuk betapa pentingnya panggilan rohani dari Tuhan dalam membimbing para domba-Nya.
Tidak bisa disangkal bahwa apa yang mereka lakukan ini sebagai ajakan bagi kami (secara tidak langsung) untuk bisa menjadi pastor, karena pada kenyataannya adalah “tuaian banyak, tetapi pekerja sedikit”. Tidak semua umat Katolik bersedia untuk menjadi pastor, karena banyak tantangan dan membutuhkan keteguhan hati.
Tidak, bukan itu yang saya pikirkan. Pada saat itu saya lebih memikirkan bagaimana caranya agar bisa lulus Ujian Nasional dan Ujian Sekolah dengan baik. Ketika itu adalah kali pertama bagi saya dalam menghadapi Ujian Nasional, serta rasa takut dan tegang yang dirasakan bukan main-main.
Setelah dua jam berlalu, akhirnya pihak seminari mengakhiri sesinya. Jujur saja saya agak sedikit tergugah mendengar penjelasan beliau, terlepas bayang-bayang Ujian Nasional masih menyertai. Bagi saya panggilan rohani adalah penting, jadi apakah saya mendaftar untuk menjadi seminari?
Apabila Anda masih ingat paragraf pertama tulisan ini, sudah pasti jawabannya tidak. Alhasil, keluarga saya memilih untuk menyekolahkan saya di tempat dan yayasan yang sama. Selain itu, pihak keluarga kurang berkenan jika saya mengikuti pendidikan seminari, terlepas keluarga kami adalah Katolik yang taat.
Lima belas tahun kemudian, saya berada di dalam kondisi yang cukup bimbang. Teman-teman saya sudah berpasangan (baik pacaran maupun menikah), tetapi saya masih setia untuk sendiri. Memang ini pilihan yang saya inginkan, tetapi dalam beberapa kesempatan saya merasa iri akan mereka yang berpasangan.
Ketika saya mengikuti retret, selain meditasi rohani, tebersit di dalam benak akan panggilan rohani dari Tuhan. Saya berpikir cukup lama akan hal tersebut, tetapi pada akhirnya saya tidak menanggapinya karena menyadari bahwa diri ini sudah cukup “tua” untuk menjadi calon pastor.
Sekadar informasi, bahwa untuk menjadi pastor itu membutuhkan waktu yang sangat lama. Rentang waktunya bervariasi, tetapi gambaran kasarnya bisa lebih dari 10 tahun. Apabila ini diaplikasikan kepada saya, maka saya bisa saja saya berusia lebih dari 40 tahun untuk menjadi pastor.
Memang tidak ada yang salah untuk menjadi pastor di usia tersebut, tetapi bagi saya secara pribadi sudah terlalu “tua”. Selain itu, tantangan seumur hidup (baik jasmani dan rohani) yang harus dihadapi pastor membuat saya harus berpikir dua kali untuk menanggapi panggilan itu.
Ketika sudah kembali dari retret, ibu mengajak saya untuk berbicara. Beliau mengetahui keresahan saya dalam menanggapi panggilan Tuhan dalam beberapa waktu terakhir, maka dari itu ia menyampaikan hal sebagai berikut:
“Mas ingat ketika masih SMP ingin masuk seminari?”
“Iya, Ma. Aku menolaknya karena keinginan mama.”, jawab saya dengan ragu-ragu.
“Kalau boleh jujur, sejak kamu terkena kanker dan dinyatakan sembuh, mama tidak ingin jauh dari kamu. Selain itu, fisik untuk sekolah di seminari dan jadi pastor itu harus prima. Setelah kamu kena kanker, kamu tidak bisa terlalu capek dalam hal apapun.”, ujar ibu saya.
Pada saat itu juga, saya menyadari alasan sebenarnya larangan ibu untuk masuk ke seminari. Kondisi fisik saya tidak memungkinkan untuk menghadapi tantangan itu dan ia tidak ingin anaknya sakit-sakitan ketika pada akhirnya mengemban tugas sebagai pastor.
Namun, di saat bersamaan, jawaban tersebut terkesan tetap tidak masuk akal bagi saya. Akhirnya, saya simpan segala unek-unek itu di dalam hati.
Ketika tulisan ini sudah terbit, saya mengerti apa yang Tuhan inginkan kepada saya. Bukan menjadi pastor, melainkan berperan sebagai penyambung ekonomi bagi keluarga kami. Saya diberikan kesempatan oleh-Nya bekerja di luar negeri, sehingga dapat membiayai sebagian besar kebutuhan kami secara lebih layak.
Saat ini adik perempuan saya sudah bekerja, jadi sangat jarang berada di rumah. Berhubung saya lebih banyak kerja di rumah (kerja secara remote), maka sebagai anak pertama saya lebih sering menghabiskan waktu bersama ayah dan ibu ketika adik berada di kantor.
Masih segar dalam ingatan bahwa dahulu saya cenderung menutup diri terhadap keluarga, tetapi sekarang saya bisa merasa lebih nyaman ketika bersama dengan mereka. Inilah jawaban saya atas “panggilan” yang Tuhan beri, yaitu dengan cara membahagiakan ayah, ibu, dan adik perempuan saya sebagai seorang awam.
Melalui tulisan ini, saya berharap bagi siapa saja yang menjawab panggilan rohani dengan menjadi pastor agar senantiasa setia akan panggilannya itu. Tuhan memilih Anda karena Ia tahu akan potensi yang Anda miliki untuk menggembalakan para domba-Nya.
Akhir kata, doa dari saya menyertai perjalanan imamat dan keteguhan hati mereka sampai akhir hayat.
Amin.
Tinggalkan komentar Anda