Jika Anda sering mengunjungi blog ini, Anda melihat bahwa akhir-akhir ini saya lebih rajin menerbitkan tulisan di sini. Selain sebagai bentuk pemenuhan dari sebuah nas, blog ini saya gunakan sebagai tempat pelarian utama pada saat ini dari keriuhan media sosial.

Karena keriuhan tersebut, bahkan saya memutuskan untuk mencoba mengurangi jumlah pos di akun X/Twitter @idwiki selama beberapa waktu ke depan. Saya masuk dalam siklus di mana merasa jenuh untuk mengelola akun media sosial, tetapi masih tetap bisa menjalaninya dengan mengurangi intensitasnya.

Sementara itu di akun media sosial pribadi, saya hanya menyisakan akun X/Twitter yang masih aktif. Itu pun saya gunakan hanya untuk mengepos tulisan terbaru dari blog ini. Selain dari itu, tidak saya gunakan sama sekali. Saya pun juga sudah menyampaikan hal serupa di halaman ini.


Lini masa saya ramai dengan hal-hal yang membuat saya mengernyitkan dahi maupun memancing amarah, terlepas saya sudah membisukan (mute) beberapa kata kunci yang menjurus kepada hal tersebut. Sayangnya, hal seperti itulah yang dapat memancing algoritma dan menaikkan engagement.

Sebuah kutipan ternama dari tahun 1970-an, yaitu “You’re Not the Customer; You’re the Product“, seakan-akan dianggap sebagai selangkah lebih maju pada masanya. Namun, memang kenyataannya kita adalah “produk” bagi mereka agar senantiasa berlama-lama di dalamnya. Tanpa kita, mereka tiada.

Ketika sedang marah, kita cenderung untuk membuat keputusan atau tindakan impulsif12 yang pada akhirnya akan merugikan (baik diri sendiri dan orang lain).3 Hal inilah yang dimanfaatkan oleh algoritma media sosial agar kita senantiasa aktif berkomentar, like, hingga membagikannya terlepas itu bisa berdampak buruk.

Karena itulah, saya memutuskan untuk mundur sejenak dari media sosial (kecuali dalam mengelola akun X/Twitter @idwiki, hanya dikurangi intensitasnya). Nah, melalui blog ini saya merasakan kebebasan dan kenyamanan dalam mengutarakan apa pun yang diinginkan dengan minim amukan dari warganet.

“Memangnya ada yang masih nge-blog pada zaman sekarang? Bukannya sudah ketinggalan zaman?”

Menurut saya, justru pada saat ini budaya nge-blog sudah kembali hidup secara perlahan. Melalui kehadiran layanan blog seperti Medium dan Substack, siapa saja bisa langsung menulis dengan mudahnya. Beberapa blog di Medium yang saya sarankan untuk dibaca adalah dari Ivan Lanin dan Kaniko.

Selain itu, penulis blog tidak dikendalikan oleh algoritma media sosial dan bisa membuat tulisan dengan topik yang diminati. Percayalah, mengikuti arus algoritma itu sangat memakan waktu dan tenaga, serta diwajibkan untuk memantau lini masa secara berkelanjutan. Tidak semua orang mampu melakukannya.

Secara pribadi saya banyak melihat penulis blog baru bermunculan dan mereka menulis tentang hal apa pun yang diinginkan. Saya sangat senang karena blog yang sebelumnya disebut “ketinggalan zaman”, kini kembali bangkit dan berjalan untuk menghadapi derasnya arus algoritma media sosial.


Apabila Anda ingin mencoba sesuatu hal baru yang bermanfaat di luar media sosial, saya sarankan untuk mulai nge-blog sekarang juga. Saya pernah membuat tulisan mengenai beberapa manfaat nge-blog pada saat ini dan saya percaya bahwa manfaat tersebut akan Anda rasakan apabila melakukannya secara tekun.

Terlepas dari itu, saya tidak meminta Anda untuk berhenti menggunakan media sosial. Toh, saya sendiri juga masih mengelola akun X/Twitter @idwiki meskipun intensitasnya dikurangi. Saya ingin mengajak Anda untuk mengontrol penggunaan media sosial agar tidak terseret algoritma yang bisa saja membahayakan.

Jika Anda ingin berhenti bermedia sosial sepenuhnya, itu adalah keputusan Anda. Intinya kurangi penggunaan media sosial secara berlebih dan gunakan waktu yang ada untuk hal bermanfaat, misalnya dalam hal ini adalah menulis atau nge-blog.

Kata “sosial” dalam “media sosial” sebenarnya bermakna baik, tetapi kita juga harus cerdas dalam menggunakannya agar bisa berdampak baik. Paham, kan? 😁

Catatan kaki

  1. Mohr, P., Howells, K., Gerace, A., Day, A., & Wharton, M. (2007). The role of perspective taking in anger arousal. Personality and Individual Differences, 43(3), 507–517. https://doi.org/10.1016/j.paid.2006.12.019 ↩︎
  2. Alia-Klein, N., Gan, G., Gilam, G., Bezek, J., Bruno, A., Denson, T. F., Hendler, T., Lowe, L., Mariotti, V., Muscatello, M. R., Palumbo, S., Pellegrini, S., Pietrini, P., Rizzo, A., & Verona, E. (2019). The feeling of anger: From brain networks to linguistic expressions. Neuroscience & Biobehavioral Reviews, 108, 480–497. https://doi.org/10.1016/j.neubiorev.2019.12.002 ↩︎
  3. Day, A., Mohr, P., Howells, K., Gerace, A., & Lim, L. (2011). The Role of Empathy in Anger Arousal in Violent Offenders and University Students. International Journal of Offender Therapy and Comparative Criminology, 56(4), 599–613. https://doi.org/10.1177/0306624×11431061 ↩︎

Discover more from Nohirara Swadayana

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

4 responses

  1. Sebagai orang yang chronically online on twitter, saya paham kalau keadaan sekarang bikin “kemrungsung”. Hal ini emang berbeda dengan riuhnya twitter di masa lalu karena kebijakan Musk soal komersialisasi dan engagement. Sebenarnya sampai sana tidak masalah tapi sayang sekali banyak yang tidak sadar kalau pembenturan antar golongan sedang masif entah untuk menyembunyikan apa. Taking a step back or even a break would be sensible honestly. Hope everything goes alright on your side Bang Noy.

    1. Terima kasih sekali, Bang Ku.

      Karena dengan semakin banyak mengepos keriuhan, maka engagement naik dan besar pula pundi-pundi yang akan diperoleh (terkhusus bagi mereka yang membeli centang biru).

  2. Ini memang soal kecocokan dan kenyamanan setiap pengguna pelantar, terutama kalau untuk kepentingan pribadi, bukan dinas.

    Facebook saya tinggalkan pada 2012, antara lain karena terlalu riuh, padahal dalam kehidupan nyata saya tak punya teman sebanyak itu. Teman dalam arti saling mengenal, tahu wajah masing-masing.

    Twitter saya tinggalkan 2014, lalu setelah saya ngeblog lagi akhir 2019 akun Twitter untuk blog saya aktifkan, jumlah pengikut sedikit, seperti pembaca blog saya. Akun lama Twitter saya lbh banyak pengikutnya, demikian pula akun Twitter dengan nama saya tetapi untuk dinas. Kemudian untuk X/Twitter terakhir akhirnya saya bosan.

    Tentang blog saya masih nyaman di situ. Memang pembacanya jauh lebih sedikit daripada yang sebelum 2014, tetapi saya tetap nyaman karena tujuan saya ngeblog untuk memperlambat kepikunan.

    Misalnya ingin meraih banyak pembaca mungkin lebih sip menulis di FB tetapi itu bukan kebutuhan saya karena di sana riuh, terlalu banyak interaksi, kalau semua hal saya turuti maka waktu saya akan habis hanya untuk berinteraksi.

    Kenapa saya tidak ngeblog dalam wadah pelantar komunal, spt WordPress, Blogspot, dan Medium? Bukankah peluang banyak pembaca lebih mungkin di sana?

    Pertama: saya kadung ditraktir domain dan hosting pada mulanya. Kedua: sejauh ini saya masih nyaman dengan hadir sendirian, kecuali nanti tak sanggup lagi membayar maka saya masuk ke layanan komunal gratis.

    Meski pembaca saya sedikit, selalu saja ada yang membaca arsip lama karena hirings mesin pencari.

    Soal lain, saya tahu topik tertentu di blog saya lebih banyak pembacanya namun saya menulis tanpa peduli itu, apa pun yang ingin saya tulis ya saya tulis. Kenapa? Ini blog pribadi. Kalau misalnya saya bekerja untuk media tentu beda, apa yang disukai pembaca itulah yang akan saya tulis. 😇🤫

    1. Terima kasih sekali atas kunjungan dan komentarnya, Paman! 🙏😇

      Memang sudah seharusnya blog pribadi harus diisi dengan apa saja yang kita sukai, bukan semata-mata ikut arus. Blog memang menjadi salah satu cara saya untuk menarik diri dari cepat dan riuhnya dinamika media sosial, yakni dengan menjadi diri sendiri tanpa harus terseret arus algoritma mereka.

      Selama bisa menjadi diri sendiri ketika nge-blog, maka apa pun pelantar yang digunakan itu sah-sah saja. Satu catatan: ketika menggunakan pelantar mandiri (layanan hos [hosting]), baiknya selalu memperhatikan dan mempertimbangkan apa saja yang diunggah agar tidak melebihi kapasitas penyimpanannya.

Tinggalkan komentar Anda

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.