Ketika saya masih bekerja di perusahaan sebelumnya, bisa dikatakan gaya hidup saya lebih “mewah” apabila dibandingkan dengan gaji yang diterima. Setiap hari kerja saya pergi ke kedai kopi ternama, baik pada pagi hari sebelum masuk kantor dan sore hari setelah pulang kantor.
Mungkin sebagian dari Anda berpendapat bahwa itu adalah hal yang biasa saja. Saya bisa mengerti pendapat Anda, tetapi bagi saya hal itu tetaplah sesuatu yang “mewah”. Terlebih ketika saya memutuskan untuk berhenti kuliah, saya harus mempertimbangkan setiap pengeluaran agar bisa bertahan hidup.
Istilah kerennya adalah “mengencangkan ikat pinggang”, yaitu sebutan lain untuk menghemat dan tidak serampangan dalam pengeluaran.
Setelah saya rasa telah menghemat cukup lama, saya memutuskan untuk sedikit melonggarkan “ikat pinggang” tersebut dengan memberikan treat kepada diri sendiri baik sebelum dan sesudah jam kantor. Kalau dihitung-hitung lagi, pengeluaran saya untuk hal tersebut lumayan banyak juga.
Namun, ketika saya diberhentikan dari pekerjaan sebelumnya, mau tidak mau saya harus kembali mengencangkan “ikat pinggang”. Bahkan bisa dikatakan momen ini jauh lebih berat apabila dibandingkan saya berhenti kuliah dan awal bekerja. Maklum saja, saya sudah tidak ada pemasukan lagi pada waktu itu.
Berhubung waktu itu sedang masa awal pandemi Covid-19, sangat sulit untuk mencari pekerjaan. Terlebih lagi saya sendiri tidak memiliki ijazah S-1 sebagai syarat dasar dari sebagian besar lowongan pekerjaan di negeri ini.
Akhirnya saya berusaha untuk mencari, meskipun rasanya sia-sia. Ketika ada pekerjaan bukan tetap yang sesuai dengan kemampuan dan pengalaman, tanpa berpikir panjang saya mengiyakan kesempatan tersebut. Seperti namanya, setiap hari saya bekerja serabutan agar bisa bertahan hidup.
Tidak terlintas di dalam benak saya untuk mengunjungi kedai kopi ternama seperti dahulu, karena masih pandemi dan setiap pengeluaran saya fokuskan untuk hal primer bagi diri sendiri dan keluarga. Alhasil saya memutuskan untuk membeli kopi bubuk instan saset sebanyak dua untai setiap bulannya.
Satu untai terdiri dari 10 atau 12 saset kopi bubuk instan.
Pada masa sulit itu, sempat timbul rasa penyesalan karena sebelumnya saya memilih untuk berfoya-foya di kedai kopi ternama, alih-alih untuk menabung. Namun, apa yang sudah terjadi tidak bisa diulang kembali. Perlahan saya bisa menerima dan beradaptasi dengan gaya hidup baru ini.
Bahwa sejatinya saya bisa tetap hidup tanpa perlu berkunjung ke kedai kopi ternama.
Pada pertengahan tahun 2022, saya mendapatkan kesempatan untuk bekerja di yayasan nirlaba yang bernama Wikimedia Foundation.
Selain karena impian yang akhirnya terwujud, pekerjaan ini memberikan saya kehidupan yang jauh lebih layak apabila dibandingkan sebelumnya. Saya bisa menghidupi keluarga secara lebih dan menabung jauh lebih banyak. Tidak henti-hentinya saya berterima kasih pada Tuhan atas semua kebaikan ini.
Meskipun begitu, kebiasaan saya untuk mengencangkan “ikat pinggang” tidak hilang begitu saja. Sampai saat ini saya tidak kembali ke kedai kopi ternama, serta lebih memilih untuk mengunjungi kedai kopi di dekat rumah. Itu pun hanya seminggu sekali, bukan setiap hari.
Setiap hari saya membuat kopi sendiri di rumah. Tidak seperti sebelumnya yang berupa kopi instan saset, sekarang saya memilih kopi bubuk merek Excelso jenis Robusta Gold dengan berat bersih 200 gram. Tentu saja ini jauh lebih hemat apabila dibandingkan pergi ke kedai kopi ternama setiap hari.
Seiring dengan umur yang bertambah, maka tanggung jawab rumah tangga pun demikian. Bersama dengan adik, kami mengambil alih sebagian besar pembiayaan keluarga. Awalnya cukup berat untuk menjalaninya, tetapi pada akhirnya kami sudah terbiasa akan hal tersebut.
Saya tidak akan melonggarkan “ikat pinggang” dalam waktu dekat, karena biaya hidup yang pada saat ini semakin meroket. Selain itu, saya hanya bisa berdoa kepada-Nya untuk meminta kekuatan agar bisa menghadapi semua kegilaan ini.
Tinggalkan komentar Anda