Beberapa waktu yang lalu, saya berbincang-bincang secara daring kepada beberapa teman dekat tentang segala hal. Obrolan kami berlangsung di Discord, sebuah aplikasi pesan singkat yang menjadi permulaan kami dipertemukan ketika masa awal pandemi pada tahun 2020.

Bahasan diskusinya cenderung ringan dan tak jarang menimbulkan gelak tawa di antara kami. Ketika ada kesempatan untuk berbicara, saya membuka topik dengan membahas orang-orang yang berprestasi. Secara terperinci, saya membahas tentang pelajar yang mengikuti olimpiade sains internasional.

Seketika itu juga, suasana berubah menjadi sangat serius.

Sumber berita: Kompas.id

Menggunakan berita di atas, saya menyampaikan kepada mereka bahwa banyak pelajar yang tidak bisa berangkat ke olimpiade sains internasional karena dampak efisiensi dari pemerintah. Jumlah anggaran yang dipangkas bukan main, yaitu sebesar 350,9 miliar rupiah menjadi hanya 57,3 miliar rupiah.

Iya, efisiensi. Sebuah wacana yang tidak pernah habis-habis dampaknya, bahkan yang terkini (ketika tulisan ini dibuat) adalah penundaan pelaksanaan CPNS.

Bagi saya, mereka semua adalah orang berbakat yang berjuang keras untuk bisa mencapai titik tersebut. “Mereka itu bukan kaleng-kaleng, sudah terdidik rajin dan cakap dalam mengerjakan soal-soal olimpiade. Baik tingkat lokal maupun internasional”, pungkas saya dengan nada tinggi.

Kebanyakan dari mereka hanya bisa terdiam dan prihatin. Namun, teman saya yang lain, mengamini perkataan saya dengan mengeluarkan sumpah serapah kepada pemerintahan saat ini. Demi keamanan saya dan pembaca, saya putuskan untuk tidak menampilkannya di tulisan ini.

Intinya sumpah serapah tersebut cukup brutal, sungguh.


Berbicara tentang mereka yang berprestasi, ketika SMA saya berpikir bahwa mereka sudah mendapatkannya begitu saja sejak lahir. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, itu disebut dengan “talenta“. Saya pernah menemui beberapa dari mereka ketika masa sekolah, rasanya iri dan kagum akan prestasi mereka.

Selain itu, dahulu saya juga berpikir bahwa mereka tidak butuh apa dan siapapun karena sudah berprestasi. Alhasil, beberapa dari mereka tidak banyak memiliki teman di dalam kehidupan pergaulannya. Saya berteman dengannya karena merasa memiliki kesamaan dalam per-kuper-an ini.

Karena masih remaja, saya belum bisa berpikir jauh apa alasan di balik semua itu. Saya hanya bisa menemani dan mengajaknya mengobrol ketika di sekolah, tak jarang saya mengajaknya ke perpustakaan. Ia membaca buku, sementara saya berkontribusi di Wikipedia menggunakan komputer perpustakaan sekolah.

Ketika lulus SMA, saya sudah tidak berinteraksi dengannya lagi. Satu hal yang saya tahu, ia diterima di universitas prestisius dengan nama mentereng dalam hal prestasi. Dalam hati kecil saya merasa bersyukur karena ia sudah “bebas” dari masa sekolah, serta ditempatkan pada institusi yang sesuai dengannya.

Sumber berita: Kompas.id

Kembali ke masa kini, saya iseng membuka Kompas.id dan menemukan artikel opini di atas. Sangat wajar jika mereka yang berprestasi akan mencari tempat lain yang menghargainya, alih-alih bertahan di suatu tempat yang tidak dianggap bahkan dijadikan bahan ejekan banyak orang.

Sebenarnya ada beberapa diskursus (ini satir, lebih tepatnya adalah obrolan) di internet yang menganggap remeh maupun menjelek-jelekkan mereka yang berprestasi. Beberapa alasannya adalah mereka sudah sangat pintar, hingga olimpiade adalah hal yang tidak berguna bagi nusa dan bangsa.

Masih ingat dengan apa yang saya sampaikan di awal tulisan ini? Saya berkata bahwa mereka bisa sampai di titik berprestasi karena sangat rajin mengerjakan soal-soal latihan olimpiade. Jadi, tidak semua yang berbakat itu semata-mata didapatkan dari lahir, melainkan juga karena adanya kerja keras tanpa henti.

Bukan cuma ongkang-ongkang kaki macam pejabat, keles.


Sesi obrolan kami berakhir lebih cepat dibandingkan biasanya, tetapi bisa dimaklumi karena bahasan kali ini lebih berat. Beberapa saat kemudian, saya mengirim pesan ucapan permintaan maaf kepada mereka karena telah merusak suasana obrolan dengan membahas sesuatu yang serius.

“Kamu tidak perlu meminta maaf, karena mereka yang berprestasi ini harus diperhatikan dan dijadikan aset oleh negara.”, ujar salah satu teman saya.

Jangan sampai mereka yang berprestasi ini semuanya berpindah ke luar negeri dan memutuskan untuk hidup di sana. Kemudian, sebagian orang-orang di negara ini protes kepada mereka karena tidak nasionalis dan enggan untuk membangun negara ini.

Lho, kalian saja tidak menghargai usaha dan kerja keras mereka ketika masih di negara ini. Mengapa tiba-tiba merengek dan marah-marah agar mereka kembali ke sini? Wajar saja mereka memilih tempat yang lebih menghargainya secara penuh dan manusiawi, alih-alih cuma karena gelar berprestasinya.

Camkan itu.


Discover more from Nohirara Swadayana

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Tinggalkan komentar Anda

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.