Tidak seperti biasanya yang sebelumnya dalam keseharian saya ditemani oleh adik, kali ini ia sudah lebih banyak menikmati waktunya bersama dengan orang lain. Lebih tepatnya, saat ini ia lebih sering menghabiskan waktu bersama dengan teman-temannya.
Ah, tidak disangka waktu berlalu begitu cepatnya. Saya tidak bisa mengekangnya terus menerus, karena ia pun berhak untuk menikmati hidup dengan caranya sendiri. Berhubung ia sekarang sudah kerja kantoran, maka otomatis saya yang lebih sering hadir di rumah untuk menemani ayah dan ibu.
Sebagai catatan, saya bekerja secara jarak jauh (remote) dan sangat jarang untuk datang ke kantor.
Alhasil, saya lebih banyak menghabiskan waktu secara sendirian. Baik untuk belanja, ke gereja, bahkan hingga rehat di akhir pekan. Tidak bisa dipungkiri bahwa pada awalnya saya enggan untuk menerima kenyataan tersebut, tetapi lambat laun kenyataan itu sendiri yang menyadarkan saya.
Kemarin malam, saya pergi ke sebuah kedai kopi langganan seorang diri tanpa kehadiran sosok adik. Maklum saja, ia memilih bermalam minggu bersama dengan teman seprofesinya. Saya memilih bangku pojok, tetapi tidak begitu masuk ke bagian dalam karena tidak ingin dilihat orang banyak.

“Loh, kenapa menghindar?”
Saya mendengar suatu anekdot bahwa datang ke restoran atau kafe itu harus dua orang atau lebih, jadi intinya tidak boleh datang sendirian. Sejauh mata memandang, tidak ada satu pun di kedai kopi itu yang duduk sendirian. Mereka datang bersama pasangan, teman, maupun keluarganya.
Pernah suatu ketika saya datang sendirian ke sebuah restoran, karena waktu itu adalah jam makan siang, tetapi saya merasa banyak orang di sana yang memperhatikan saya. Asumsi saya adalah karena saya datang sendirian, di antara semua bangku yang ada di sana diisi oleh dua atau lebih orang.
Sejak saat itu, saya memilih untuk menghindari kerumunan orang ketika akan duduk sendirian. Seharusnya saya punya hak untuk duduk di manapun yang saya inginkan, tetapi karena anekdot tersebutlah yang membuat saya membatalkan niat tersebut. Malas rasanya jika dilihat oleh banyak orang.
Kembali ke kedai kopi, pikiran saya saat itu tidak fokus untuk menyelesaikan pekerjaan yang ada di depan mata. Saya memilih untuk mengetik apapun yang ada di dalam benak menggunakan aplikasi Notes, sebagai bentuk relaksasi meredam pikiran yang berkecamuk.
Setelah mengetik panjang, saya kemudian teringat akan perkataan ibu beberapa waktu lalu.
“Mas, mau nemenin mama buat potong rambut? Sekalian kamu juga karena udah panjang rambutnya”, tanya ibu sembari menengok di depan pintu ruang kerja saya.
Saya mengiyakan permintaan ibu dan kami langsung bergegas pergi ke salon di dekat rumah. Ketika menunggu giliran untuk potong rambut, saya sangat menikmati percakapan dengan ibu tentang segala hal. Tak jarang gelak tawa mewarnai percakapan di antara kami.
Tidak hanya di situ, ibu pernah meminta untuk diajak belanja bulanan di supermarket. Peran yang biasanya diisi oleh adik, kini digantikan oleh ibu. Bercakap-cakap dengan ibu sangat berbeda dengan adik ketika belanja, terlebih beliau cenderung ketat dalam memilih belanjaan.
Namun, secara keseluruhan saya menikmati momen tersebut bersama ibu. Selain itu, ada perasaan senang luar biasa ketika membelikan sesuatu yang menjadi keinginan beliau. Dahulu saya takut dengan ibu karena sangat tegas, tetapi sekarang saya lebih menikmati interaksi dan kebersamaan kami.
Ketika saya berhenti mengetik dan menyesap blueberry smoothies, tiba-tiba terbesit ingatan akan sebuah perkataan dari teman saya.
“Sebagai seorang jomblo, kamu harus prioritaskan untuk membahagiakan kedua orang tuamu. Terlebih ibumu sendiri.”
Saya menghela napas dan berusaha sekuat mungkin untuk menahan tangis.
Selama ini, saya sendirilah yang menentukan definisi “kesendirian” itu. Ketika saya tidak bersama dengan adik, maka saya bisa dikatakan sendirian. Namun, saya lupa bahwa masih ada rekan dan handai tolan yang dekat dalam jangkauan. Terlebih lagi adalah kedua orang tua saya sendiri.
Mereka sering berada di rumah, tetapi terkadang masih tidak saya perhatikan sepenuhnya. Tentu tidak salah saya dekat dengan adik, tetapi saya juga harus dekat dengan ayah dan ibu yang lebih sering hadir. Saya menyesal bahwa diri ini tidak begitu memperhatikan mereka.
Ketika hendak berpergian, secara perlahan saya sudah menggeser posisi adik dengan kedua orang tua saya. Mereka sangat senang diajak jalan-jalan oleh anak sulungnya, terlebih ayah yang sejak pensiun tidak pergi ke Jakarta lagi. Raut keceriaan merekalah yang menjadi motivasi saya untuk menerapkan ini secara rutin.
Tentu saja saya masih mengajak adik, tetapi saya mencoba untuk tidak memaksakan seperti sebelumnya. Bagi saya, ini adalah cara Tuhan agar saya lebih dekat dengan ayah dan ibu, serta memperbaiki hubungan yang sebelumnya sempat retak di antara kami. Agak terlambat, tetapi lebih baik daripada tidak sama sekali.
Oh, iya. Untung saja saya duduk di pojok, karena malu rasanya dilihat oleh orang lain ketika sedang menangis. Sendirian pula.
Tinggalkan komentar Anda