Setiap tahun, keluarga kami memiliki kebiasaan untuk berkunjung ke rumah tetangga maupun sanak saudara yang merayakan Idulfitri. Meskipun kami tidak merayakannya, tetapi suasana lebaran tetap memberikan kebahagiaan dan kehangatan bagi keluarga kami.

Kemarin, sekitar pukul 7 pagi, saya dibangunkan oleh ibu untuk bergegas berkunjung ke beberapa rumah di hari pertama Idulfitri. Jujur saja saya agak sedikit menggerutu karena masih mengantuk, tetapi karena hari ini adalah hari istimewa maka saya mengiyakan permintaan beliau.

Awalnya saya berpikir hanya mengunjungi beberapa rumah di sekitar, jadi saya bisa agak sedikit santai. Namun, secara mendadak ibu memberitahu bahwa seharian kami akan “safari” untuk bersilaturahmi ke beberapa sanak saudara. Satu hal yang menjadi masalah, lokasinya saling berjauhan.

Mendengar jawaban itu, raut muka saya berubah menjadi sedikit kusut. Saya khawatir akan kelelahan karena harus berpindah-pindah selama seharian. Terlepas dari semua itu, saya tetap ingin untuk pergi bersilaturahmi di momen lebaran ini.


Dalam perjalanan “safari” kami, suasana hangat selalu menyambut kami. Berhubung kami jarang bertemu dengan mereka, maka momen inilah yang menjadi cara kami untuk melepas rasa rindu. Mereka sangat antusias untuk menanyakan kabar kami sekeluarga, khususnya kepada saya sendiri.

“Kamu kerja di mana?”, tanya mereka.

“Saya kerja di luar negeri. Kantornya di luar negeri, tetapi saya bekerja dari rumah. Work from home istilahnya.”, jawab saya dengan yakin.

“Syukurlah. Kalau pasangan sudah ada belum? Kapan nikah?”

Ah, satu pertanyaan ini yang terkadang membuat saya keder. Tak jarang saya digoda (baca: bercanda) oleh mereka untuk cepat-cepat mencari pasangan. Mereka beranggapan bahwa saya sudah cukup mapan untuk berkeluarga, tetapi secara mental jujur saja saya masih belum siap.

“Mei. Meibe (maybe) yes, meibe (maybe) no.”, jawab saya dengan bercanda.

Gelak tawa turut menyemarakkan suasana silaturahmi kami. Secara pribadi, saya tidak tersinggung akan pertanyaan tersebut. Saya mencoba menjawabnya dengan guyonan, serta berharap mereka tertawa dan seketika melupakan pertanyaan “kapan nikah” itu.

Toh, bagi saya sendiri, suasana ini belum tentu didapatkan di waktu lain maupun berulang kembali.


Keluarga kami sudah mengunjungi mereka setiap lebaran sejak saya masih SMP dan SMA, serta dilakukan secara rutin tanpa putus. Ketika masa pandemi Covid-19, tentu saja kami tidak bisa berkunjung secara langsung dan memilih mengandalkan medium video call sebagai substitusinya.

Saya masih ingat garis wajah mereka ketika berkunjung pertama kali, masih segar dan cerah dalam menyambut kami. Seiring berjalannya waktu, kini garis wajah mereka sudah memudar dimakan usia. Satu hal yang untung saja tidak berubah dari dulu, yaitu kehangatan yang kami terima.

Beberapa dari mereka kini sudah berkeluarga dan memiliki anak, serta ada yang tetap beraktivitas dalam usia senjanya. Saya bersyukur karena masih berkesempatan untuk bertemu mereka dalam sekali setahun, tetapi apakah momen ini akan tetap sama untuk seterusnya?

Tuntutan pekerjaan dan pendidikan, kondisi kesehatan, hingga usia yang bisa saja merenggut momen ini. Saya tidak bisa menyangkal bahwa diri ini belum siap untuk menerima kenyataan, yaitu bisa saja salah satu (atau beberapa) dari mereka tidak akan saya temui lagi di momen lebaran berikutnya.

Saya tidak mendoakan yang aneh-aneh, tetapi pasti suatu saat nanti hal itu akan saya alami.

Ketika kami diajak mereka untuk makan opor ayam dan ketupat, saya meminta izin untuk keluar rumah sejenak. Ketika di luar, saya bergumam di dalam hati kecil saya sambil berdoa.

“Terima kasih atas momen kehangatan yang Engkau berikan di antara kami. Aku akan berusaha sebaik-baiknya untuk menikmati setiap momen itu, karena aku sadar bahwa belum tentu aku akan mendapatkannya di waktu yang datang.”


Saya kembali ke rumah tersebut, kemudian salah satu di antara mereka mengajak saya untuk segera mengambil opor ayam dan ketupat sebelum kehabisan. Tanpa berpikir panjang, saya mengambil santapan itu dengan senang hati. Ketika saya hendak duduk, mereka menyapa saya.

“Terima kasih sudah mau merayakan lebaran bersama kami, semoga kamu selalu diberikan yang terbaik oleh-Nya.”, ujar mereka dengan hangatnya.

Saya mengangguk sebagai bentuk rasa senang teramat sangat. Rasa kantuk dan malas di pagi hari yang awalnya saya rasakan, kini berubah menjadi hal manis yang bisa menyemangati saya dalam hidup ini. Saya sudah janji kepada Tuhan agar bisa menikmati setiap momen setahun sekali ini.

“Oh, iya. Soal yang tadi, kamu kapan nikah?”, tanya salah satu dari mereka.

Aduh, saya sudah kehabisan amunisi untuk menjawab pertanyaan tersebut dan secara latah saya menjawabnya dengan gelagapan tanpa arah jelas. Untuk kedua kalinya, gelak tawa kembali menyemarakkan suasana silaturahmi kami.

Saya memilih untuk diam dan tertawa di dalam hati, sambil menghabiskan opor ayam dan ketupat yang disediakan.


Discover more from Nohirara Swadayana

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Tinggalkan komentar Anda

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.