LinkedIn

dalam
LinkedIn
Kantor pusat LinkedIn di Sunnyvale, California, Amerika Serikat. Gambar oleh: LPS.1, lisensi: CC0 1.0.

Beberapa hari yang lalu, saya dihubungi oleh teman untuk membantu memeriksa berkas CV, surat pengantar (cover letter), dan portofolionya. Dengan senang hati saya mengiyakan permintaannya. Selain saya yang akan memeriksa, teman saya yang lain bersedia untuk membantu.

Ketika ia menunjukkan semua berkasnya, saya terkesima akan karyanya dan pencapaian yang ia raih. Sebenarnya tujuan utama saya adalah untuk merapikan surat pengantar dan CV miliknya, tetapi sekali lagi fokus saya teralihkan karena karya dan pencapaiannya itu.

Untung saja teman saya yang lain mengingatkan untuk kembali fokus ke tujuan utama. Setelah dirasa sesuai dan siap untuk dikirim, tiba-tiba ia mengajukan permintaan lain kepada saya.

“Kamu ada LinkedIn? Kita sudah berteman cukup lama, tapi belum saling terhubung di LinkedIn, nih!”

Saya terkejut dan terdiam mendengar permintaan tersebut, tetapi saya tetap memberikan pranala LinkedIn milik pribadi kepadanya. Kalau boleh jujur, sebenarnya LinkedIn adalah salah satu media sosial yang paling saya hindari penggunaannya. Saya punya, tetapi jarang (bahkan cenderung tidak) memperbaruinya.


Bagi yang belum tahu, LinkedIn adalah media sosial yang umumnya digunakan oleh para profesional dalam menunjang kehidupan karier mereka. Para penggunanya bisa saling terhubung, mengutarakan pendapat, hingga mencari pekerjaan yang sesuai dengan minatnya.

Menurut hemat saya, LinkedIn umumnya digunakan bagi siapa saja yang sedang mencari pekerjaan. Baik mahasiswa/i yang baru lulus maupun mereka yang ingin mencari “tantangan” baru dalam kariernya, LinkedIn adalah salah satu cara yang mudah untuk memenuhi keinginan dari masing-masing mereka.

Namun, saya tidak menutup mata bahwa banyak pengguna LinkedIn yang sudah bekerja (maupun mapan) senantiasa aktif membuat konten nan bermanfaat di sana. Bahkan beberapa dari konten tersebut dapat memotivasi saya agar bekerja dengan semaksimal mungkin.

Saking banyaknya pengguna yang membagikan pencapaiannya di LinkedIn, tak jarang membuat saya minder untuk “ikut arus” tersebut. Pada akhirnya inilah yang membuat saya untuk mengubur dalam-dalam media sosial ini dan tidak akan diperbarui isinya apabila memang tak diperlukan.

Tangkapan layar akun LinkedIn milik saya.

Pertemuan dengan teman saya itu membuahkan renungan panjang terhadap pandangan saya kepada LinkedIn. Ketika diminta oleh teman saya untuk berinteraksi di LinkedIn, awalnya saya agak takut dan ragu. Namun, sekarang akhir-akhir ini cukup intens berkunjung ke LinkedIn karena teman saya tersebut.

Saya mulai untuk berjejaring kepada handai tolan yang sebelumnya pernah satu kantor, beberapa dosen di universitas, hingga mereka yang tidak begitu saya kenal sama sekali. Memang pada saat ini saya belum berniat untuk membuat konten di LinkedIn, tetapi bagi saya ini adalah langkah yang bagus.

Setelah disadari, saya merasakan kenyamanan menggunakan LinkedIn ketika ada teman dekat di sana. Kami memiliki kekhawatiran yang sama dan di saat yang bersamaan berusaha untuk menghadapi kekhawatiran tersebut. Saya juga mendukung pencapaian mereka dengan memberikan like maupun support.


“Jadi, apakah dirimu sudah siap untuk menggunakan LinkedIn secara penuh?”

Tidak, untuk saat ini. Situs web ini tetaplah menjadi area nyaman saya dalam menyampaikan isi pikiran maupun pencapaian. Setidaknya pandangan saya mengenai LinkedIn sudah lebih baik apabila dibandingkan dengan sebelumnya. Saya sudah mulai bisa untuk menikmati LinkedIn.

Terlebih lagi pada zaman sekarang banyak orang yang melakukan hiring melalui LinkedIn dan saya tidak bisa menghindari hal tersebut. Saya akan memperbarui LinkedIn secara perlahan, bukan secara drastis dan instan. Situs web ini tetap akan jadi “aktor utama” dalam merepresentasikan siapa diri saya ini.

Saya tidak mau janji muluk-muluk dalam memperbarui LinkedIn, karena bisa saja saya berubah pikiran untuk ke depannya. Setidaknya saya sudah mengingatkan melalui tulisan ini.

Apabila Anda ingin berjejaring dengan saya di LinkedIn, maka dengan senang hati saya akan menanggapinya. Intinya jangan berekspektasi tinggi dengan profil LinkedIn saya, ya. 😁


Discover more from Nohirara Swadayana

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

2 responses

  1. Waduh, ternyata bukan hanya saya yang melihat LinkedIn begitu. Tapi pandangan saya mendua.
    Ketika merekrut orang atau akan bekerja sama, saya mencari info dia di LinkedIn.

    Nah sebagainya pemilik akun di LinkedIn, saya tak pernah mengurusi laman saya. Testimoni orang dan sebangsanya yang sifatnya kadang saya biarkan, maaf untuk itu karena saya malu.

    Kalau Facebook sudah dua belas tahun saya tinggalkan. Dulu jejaring sosial untuk pekerjaan yang saya sukai adalah Plaxo. Begitu muncul FB da LinkedIn, pelantar itu kolaps lalu tidur panjang.

    Salah satu manfaat Plaxo sebelum ada Android adalah mensinkronisasikan kontak di Microsoft Outlook berikut nomor telepon dengan Blackberry dan kemudian Google dan Mac.

    1. Saya menggunakan LinkedIn karena kewajiban (atau tekanan) sosial, bukan semata-mata karena kebutuhan secara sadar dari dalam diri.

      Apabila ada yang meminta saling terhubung di LinkedIn, hampir sebagian besar saya setujui. Namun, untuk isinya dibiarkan apa adanya. :))

      Perihal sinkronisasi, saya rasa sekarang fitur kontak yang ada di Google sudah cukup membantu dalam menyimpan nomor ponsel maupun alamat surel terkait. Tidak seperti dahulu yang harus memasukkan seluruh kontak dari gawai lama ke yang baru.

      Sebenarnya kontak bisa disimpan di kartu SIM, sih. Hanya saja kapasitasnya sangat kecil.

Tinggalkan komentar Anda

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.